"Pisang apa ini, Bu? Gak usah repot-repot."
"Udah bawa, ini pisang dari kebun Ibu. Dimakan ya, jangan dijual."
Aku tertawa mendengar kelakar Ibu.
"Kami terima pisangnya ya, Bu. Semoga Ibu sehat selalu."
"Amiin, kalian juga sehat-sehat ya di kota."
Setelah bersalaman dengan Bu Lasmini, kami pun kembali memacu sepeda motor menuruni barisan bukit di Puncak Dua Bogor.
Bu Lasmini merupakan sosok yang memberikan kesan di hati kami. Sebagai perempuan berumur setengah abad, beliau masih lincah menyusuri jalan menuju agen terdekat untuk memenuhi stok dagangannya.
Beliau selalu berjalan kaki dan gemar menyapa orang-orang yang ditemuinya di jalan. Kalau ada makanan atau kalau kebetulan ia sedang membuat makanan cemilan, ia tak ragu untuk menyajikannya pada orang-orang yang mampir ke warungnya. Entah ia kenal atau tidak dengan orang itu.
Kadang-kadang kami disajikan pisang goreng atau sekadar keripik untuk menemani ngopi. Kami seringkali sungkan menerimanya karena beliau sedang berdagang.
Tetapi Bu Lasmini memiliki pemikiran yang berbeda. Siapapun yang datang ke warungnya bukan sekadar pembeli, melainkan tamu. Selayaknya tamu, Bu Lasmini akan membuka obrolan dan membagikan cerita-cerita berdasarkan pengalamannya.
Jika tamunya sedang menyantap hidangan, Bu Lasmini akan menyibukkan diri dengan menyuci perabot yang kotor. Kakusnya pun terbuka untuk siapa saja yang ingin buang air, minta air, bahkan menumpang mandi. Beliau tidak membebankan tarif kecuali pada dagangannya.