"Iya, alhamdulillah sehat Bu. Kemarin belum sempat kesini karena lagi ujian."
Aku menghitung kapan terakhir kali ke warung Ibu, ternyata sudah terpaut dua minggu. Rupanya Ibu khawatir dengan kesehatan kami di kota, padahal kami hanya sedang sibuk berkutat dengan kehidupan urban.
Kami menghabiskan waktu di warung Ibu dengan bercengkrama. Sesekali Ibu memusatkan fokus untuk melayani orang-orang yang juga datang ke warungnya.
"Ini jalan rame banget, ya?" Ibu membuka obrolan lagi setelah menyediakan secangkir teh pada seorang Bapak yang tampaknya hendak merumput.
"Iya, tadi di jalan juga ramai banget, Bu."
"Oh gitu, tapi di warung dari kemarin sepi loh, Nak."
Nyess. Hatiku terketuk. Bu Lasmini bukan tipikal orang yang gemar memancing rasa simpati orang lain. Beliau juga bukan orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Bu Lasmini hanya sekadar berkomentar tentang kondisi keramaian di jalan yang merupakan akses wisata ke Puncak Dua Bogor.
"Bapak kemana, Bu?"
"Bapak lagi ke kota, alhamdulillah ada kerjaan di sana."
Ibu gemar membagikan cerita apa saja pada kami. Tentang suaminya, anaknya, perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya, apapun itu yang dapat mengikis rasa sepinya.
"Alhamdulillah Neng ke sini, Ibu jadi ada temannya."