Mohon tunggu...
Siti Delianti
Siti Delianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Political Science Student, Universitas Indonesia

Interested to woman empowerment topics

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Implementasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

20 Desember 2023   19:42 Diperbarui: 20 Desember 2023   20:07 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (2022)

Kerangka Teori

Teori Feminisme Liberal

Feminisme adalah gerakan perempuan yang menolak segala bentuk marginalisasi, subordinasi, dan penurunan martabat oleh budaya dominan, baik dalam aspek ekonomi, kehidupan sosial, pekerjaan, pendidikan, maupun di bidang politik. Hak-hak perempuan kerap kali dianggap lebih rendah daripada hak laki-laki dan menempatkan laki-laki di posisi yang lebih unggul. Maka dari itu, melalui gerakan feminisme, perempuan diharapkan dapat bersaing secara adil dengan laki-laki untuk mendapatkan hak dan kedudukan yang setara. Selain itu, perjuangan gerakan feminisme juga berupaya untuk melindungi perempuan dari berbagai masalah sosial, seperti pelecehan, kekerasan, dan lainnya.

Salah satu aliran feminisme yang berkembang sebagai perspektif baru dalam masyarakat adalah feminisme liberal. Teori feminisme liberal berusaha untuk memandang negara sebagai penguasa yang tidak memihak antar kelompok kepentingan yang berbeda dengan menyadari bahwa negara didominasi oleh kaum laki-laki (Maulid, 2022). Feminisme liberal menekankan pada upaya reformasi politik dan hukum dengan tujuan memberikan hak serta peluang yang setara bagi perempuan dalam hal pendidikan, partisipasi politik, dan kompensasi pekerjaan. Pandangan tersebut dilatarbelakangi dengan ketidaksetaraan hak antara perempuan dan laki-laki, di mana kaum laki-laki cenderung mendominasi negara untuk mencapai kepentingannya. Permasalahan utama yang diangkat oleh aliran feminisme liberal adalah hadirnya produk hukum formal yang bersifat bias gender, menyebabkan ketidaksetaraan perempuan yang berimplikasi terhadap pembatasan peran perempuan untuk mendapatkan kebebasan di ruang publik. Maka dari itu, diskriminasi terhadap perempuan kerap terjadi di bidang pendidikan, pekerjaan, dan lainnya.

Analisis

UU No. 23 Tahun 2004 menjadi produk hukum sebagaimana yang dibayangkan melalui teori feminisme liberal, di mana kebijakan tersebut mengatur tentang keresahan masyarakat Indonesia terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Teori feminisme liberal menitikberatkan bahwa ketidaksetaraan yang dialami perempuan dilatarbelakangi oleh produk hukum yang bersifat bias gender. Maka dari itu, sebagai titik awal analisis, penulis akan menjabarkan poin-poin dalam UU No. 23 Tahun 2004 berkontribusi terhadap pencegahan kasus KDRT di Indonesia. Pertama, pendefinisian KDRT dan jenis kekerasan dalam UU tersebut menjelaskan definisi KDRT secara spesifik, serta bentuk-bentuk kekerasan yang termasuk di dalamnya, seperti kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi. Melalui penjelasan secara spesifik tersebut, masyarakat dapat memiliki kesadaran atau pengetahuan yang luas untuk mampu mengkategorisasikan tindakan kekerasan yang dialami ketika hendak melakukan pelaporan suatu kasus. Kedua, UU ini juga memberikan penjelasan mengenai landasan hukum yang melindungi perspektif korban. Melalui landasan hukum tersebut, korban diberikan hak untuk menerima perlindungan, berupa bantuan hukum dan layanan rehabilitasi. Ketiga, undang-undang tersebut juga menjelaskan sanksi hukum yang akan diberikan kepada pelaku KDRT dengan tujuan untuk menciptakan efek jera dan menjamin pertanggungjawaban hukum bagi pelaku (Ditjen PP Kemenkumham, n.d.).

Namun, terdapat gap antara regulasi UU No. 23 Tahun 2004 dengan efektivitas berjalannya regulasi tersebut dalam masyarakat. Meskipun terdapat regulasi yang telah mengatur mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, nyatanya, pelaksanaannya tidak merata dan tidak selalu konsisten pada seluruh wilayah Indonesia. Pertama, beberapa masyarakat mungkin belum sepenuhnya menyadari pentingnya regulasi tersebut dengan adanya keterbatasan pemahaman terkait KDRT, di mana beberapa masyarakat berpikir bahwa kekerasan yang terjadi di dalam lingkup rumah tangga merupakan kasus dalam ranah privat yang tidak semestinya dibawa ke ranah publik. Beberapa masyarakat kurang memahami hak-hak yang dimiliki oleh korban KDRT atau belum sepenuhnya menyadari urgensi melaporkan kasus KDRT. Kedua, sumber daya juga menjadi salah satu kendala dalam menunjang efektivitas regulasi ini. Adanya kendala dalam sumber daya, baik dari segi finansial maupun sumber daya manusia, dapat memengaruhi efektivitas implementasi UU ini. Beberapa lembaga atau unit yang bertugas menangani kasus KDRT mungkin tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk memberikan pelayanan optimal kepada korban. Ketiga, fokus UU ini cenderung berfokus pada penanganan kasus KDRT setelah terjadi daripada pencegahan sebelum terjadinya kasus, di mana upaya pencegahan, seperti edukasi masyarakat dan advokasi, serta kampanye, mungkin belum mendapatkan perhatian optimal. Keempat, pemberlakuan sanksi terhadap pelaku KDRT belum sepenuhnya konsisten. Beberapa kasus mungkin tidak mendapatkan sanksi yang sesuai atau tidak memberikan efek jera yang sesuai untuk pelaku kekerasan. Kelima, beberapa pihak berpendapat bahwa regulasi ini juga perlu diperluas cakupannya, misalnya dengan mempertimbangkan perlindungan bagi korban KDRT yang tidak memiliki ikatan pernikahan resmi (Tim Humas Universitas Islam An Nur Lampung, 2022). Maka dari itu, pengawasan terhadap implementasi dan penegakan hukum UU No. 23 Tahun 2004 mungkin masih belum sepenuhnya optimal, dan diperlukan mekanisme pengawasan yang lebih kuat untuk memastikan kepatuhan dan efektivitasnya bagi seluruh masyarakat. 

Dalam kasus antara Rizky Billar dan Lesti Kejora, kita dapat memahami bahwa bentuk kekerasan yang dialami oleh korban dilakukan secara psikis dan psikologis. Bentuk psikis yang menjadi bukti nyata adalah adanya sejumlah luka memar dan lebam pada tubuh korban setelah dilakukan proses pemeriksaan visum oleh polisi. Sementara, secara psikologis, korban diduga mengalami stockholm syndrome atau didefinisikan sebagai respons psikologis yang terkait dengan kondisi penahanan yang melibatkan tanggapan emosional dan mental terhadap situasi tersebut, di mana umumnya muncul perasaan positif atau simpati dari korban terhadap pelaku kekerasan yang dilatarbelakangi dengan interaksi yang erat pada korban dan pelaku, seperti suami istri (CNN Indonesia, 2022). Dugaan tersebut dilandaskan dengan pencabutan laporan Lesti terhadap Rizky Billar untuk membebaskan hukuman yang sebelumnya telah ditetapkan. 

Selanjutnya, dalam kasus yang melibatkan pasangan suami istri Rizky Billar dan Lesti Kejora, implementasi kebijakan UU No. 23 Tahun 2004 telah memperlihatkan proses hukum yang bertanggung jawab sebagaimana mestinya. Pelaku diberikan sanksi secara spesifik terhadap bentuk tindakan kekerasan yang dikategorikan secara fisik, psikis, dan seksual seperti yang tertulis dalam UU No. 23 Tahun 2004 (Wahyuni, 2022). Selain itu, apabila kita menilik sanksi yang diberikan terhadap pelaku, pihak pemerintah telah menitikberatkan sanksi yang adil untuk pelaku. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus lain yang tidak melibatkan figur publik atau menganggap dirinya sosok yang lemah secara hukum, kemungkinan besar mengalami ketakutan atau keraguan untuk melaporkan tindakan KDRT yang dialaminya. Maka dari itu, kebijakan UU No. 23 Tahun 2004 perlu dikampanyekan secara setara ke seluruh wilayah Indonesia secara konsisten untuk membentuk kesadaran secara menyeluruh agar produk hukum tersebut terimplementasi secara optimal.

Kesimpulan

Melalui kebijakan yang mengatur tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam konteks studi kasus yang melibatkan Rizky Billar dan Lesti Kejora, dapat dinyatakan bahwa kasus tersebut telah melewati proses penanganan kasus yang cukup baik. Akan tetapi, meskipun begitu, pemerintah perlu mengupayakan penegakkan kebijakan penghapusan KDRT untuk meningkatkan respons pemerintah yang lebih konsisten dan efektif. Rekomendasi yang dihasilkan dari analisis ini termasuk perlunya perbaikan dalam implementasi kebijakan, peningkatan kesadaran masyarakat terhadap KDRT, serta koordinasi yang lebih baik antara lembaga dan pihak terkait. Selain itu, pentingnya penanganan kasus KDRT dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan melibatkan dukungan psikososial bagi korban juga menjadi aspek yang perlu diperhatikan dalam merumuskan kebijakan yang lebih baik kedepannya. Melalui kritik dan saran yang diberikan oleh penulis, pemerintah Indonesia kedepannya diharapkan dapat membentuk produk hukum yang dapat menghasilkan rasa aman dan keadilan yang setara. Secara keseluruhan, studi kasus ini memberikan kontribusi untuk memahami tantangan dan dinamika yang terlibat dalam menangani kasus KDRT dan juga dapat menjadi dasar bagi pengembangan kebijakan yang lebih efektif terhadap konteks sosial saat menghadapi situasi serupa di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun