Aku gunung---tenang dalam pandangan,
dihiasi hijau, langit biru menawan,
tapi siapa tahu di dada ini
mendidih magma yang tak kunjung reda?
Setiap kata yang membandingkan
adalah palu yang memecah batu batinku.
Aku hanya anak di balik bayang,
yang dipilih untuk disalahkan dan dibungkam.
Tak ada pelukan, hanya tatapan hambar,
suara-suara yang menghakimi
mengisi rongga sunyiku
hingga marah menjelma menjadi napas sehari-hari.
Hari-hari kulalui dengan wajah biasa,
tapi jiwaku seperti kawah tak pernah padam.
Aku tersenyum seperti matahari pagi,
namun malamku adalah lautan bara yang membara.
Di setiap diamku ada jerit
yang tak pernah dipedulikan.
Aku belajar menyembunyikan luka
di balik ketabahan yang kalian puja.
Jangan kau puji ketegaranku,
itu bukan kekuatan,
itu hanyalah cara
agar aku tidak meledak dan memusnahkan.
Tapi aku tahu,
jika kubiarkan api ini terus menyala,
maka aku sendiri
yang akan jadi abunya.
Karena kemarahan bukanlah rumah,
melainkan badai yang menghanguskan.
Lebih baik aku redam
sebelum aku membakar dunia yang ingin kucintai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI