Mohon tunggu...
Siska Naomi Panggabean
Siska Naomi Panggabean Mohon Tunggu... Mahasiswi -

A Full Blood of Tobanese

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena LGBT dalam Sudut Pandang Politik Kriminal

30 Maret 2016   22:44 Diperbarui: 30 Maret 2016   23:08 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perbuatan pidana yang berkaitan dengan LGBT saat ini adalah perbuatan cabul terhadap sesama jenis yang belum dewasa (sodomi), yang diatur dalam Pasal 292 KUHP. Pasal ini melarang perbuatan cabul yang dilakukan seseorang dewasa (laki-laki maupun perempuan) terhadap orang yang berjenis kelamin sama dengannya (namun belum dewasa). Pasal ini juga melindungi orang belum dewasa dari orang yang dikenal sebagai homoseksual atau lesbian.[1]

Pada dasarnya LGBT adalah penyimpangan sosial yang dialami seseorang, dan bukan perbuatan jahat yang harus dipandang sebagai tindak pidana. Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan.[2] Fenomena LGBT dapat pula menjadi permasalahan hukum apabila telah melanggar norma hukum maupun kesusilaan, bahkan meresahkan masyarakat. Tindakan yang berhubungan dengan LGBT yang perlu dikriminalisasi (necessary to be a crime) ialah perbuatan cabul yang dilakukan oleh kaum Lesbian, Gay, maupun Biseksual tersebut, terlebih lagi apabila mengambil tindakan hukum untuk melakukan perkawinan yang sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Terkait dengan Transgender sendiri, tindakan yang perlu dikriminalisasi adalah perubahan jenis kelamin yang tidak didasari dengan itikad baik dan dapat merugikan pihak lain sebagai anggota dari masyarakat, misalnya dengan maksud untuk melakukan penipuan maupun penyamaran, komersialisasi, atau perbuatan melawan hukum lainnya. Hal ini dikarenakan hukum pidana dipandang sebagai social defense untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan, dan sesuai dengan politik hukum pidana, tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku.[3]

Kriminalisasi mungkin untuk diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan tersebut, berdasarkan syarat atau kriteria kriminalisasi berikut:[4]

1. Perbuatan tersebut tidak disukai oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban; hal ini dapat dilihat dari reaksi masyarakat yang memandang LGBT sebagai ketercelaan dan dapat merugikan atau mendatangkan korban, dalam hal perbuatan cabul yang dilakukan terhadap sesama jenis dengan atau tanpa paksaan atau ancaman, bisa saja menimbulkan disorientasi seksual terhadap orang yang sebelumnya tidak memiliki kelainan (orientasi seksualnya normal), atau malah memperburuk keadaan seseorang yang sebelumnya memang memiliki kelainan orientasi seksual.

2. Biaya pembuatan aturan, pengawasan, dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku harus seimbang dengan tertib hukum yang akan dicapai; terkait fenomena LGBT ini akan lebih baik bagi masyarakat apabila segera diatur dalam hukum tertulis mengenai kriminalisasinya, sehingga terkait pengakuan atau larangan atas tindakan tertentu yang dilakukan oleh kaum LGBT tidak lagi menuai multitafsir yang relatif subjektif dari berbagai pihak, artinya dibuat untuk kepastian hukum dan kepentingan umum.

3. Dapat diemban atau diterapkan oleh aparat penegak hukum berdasarkan kemampuannya; penerapan kriminalisasi ini agaknya tidak menimbulkan overblasting pada aparat penegak hukum, karena kriminalisasi LGBT ini juga  tidak membutuhkan penanganan khusus seperti tindak pidana khusus korupsi, perikanan, atau lainnya, sehingga tidak harus menambah lembaga baru dalam penegakan hukumnya.

4. Perbuatan tersebut menghambat cita-cita bangsa Indonesia sehingga menjadi bahaya bagi masyarakat; perbuatan LGBT yang perlu untuk dikriminalisasi tersebut dinilai sebagai sebuah kejahatan bagi pemuliaan generasi. Perilaku tersebut secara jelas menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa.[5] Hal ini dikhawatirkan dapat berimbas kepada generasi berikutnya di Indonesia, apabila perbuatan tersebut tidak dikriminalisasi (sehingga mendapat ketetapan bahwa perbuatan tersebut dilarang dan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia). Kriminalisasi perbuatan tersebut juga tidak menimbulkan overkriminalisasi, karena memang pada dasarnya perbuatan tersebut secara historis tidak sesuai dengan norma kesusilaan dan norma agama yang hidup dalam masyarakat.

Konsep kebijakan mengenai penanggulangan LGBT ini dapat berupa upaya penal maupun non penal, sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, ada beberapa perbuatan terkait fenomena LGBT yang perlu untuk dikriminalisasi. Adapun upaya penal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Memasukkan nomenklatur homoseksual (gay/lesbian), heteroseksual (bisexual), dan transgender sebagai disorientasi seksual dan/atau identitas gender dalam perumusan kebijakan yang akan mengatur mengenai kriminalisasi fenomena LGBT ini.

2. Memperluas cakupan kejahatan kesusilaan dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Sehingga, perbuatan cabul maupun tindakan lainnya yang tidak sesuai dengan moral maupun norma kesusilaan yang hidup dalam masyarakat, termasuk namun tidak terbatas pada tindakan untuk melakukan perkawinan, pengangkatan anak, komersialisasi seksual, dan sebagainya, dapat diatur secara imperatif. Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodir perbuatan yang sebenarnya merupakan kejahatan secara moral, sebagaimana disebutkan oleh Durkheim, bahwa dalam masa modernisasi, delik terhadap agama kehilangan nilainya sebagai sebuah kejahatan; perbedaan antara hukum dan moral tidaklah dapat mengaburkan perhatian dari hubungan yang terjadi antara moral sosial dan norma yang terkandung dalam hukum pidana klasik, seperti pernyataan Hayman Gross, bahwa crime is morally wrong, and punishment for it is morally right.[6]

3. Pemberatan terhadap perbuatan cabul yang dilakukan terhadap sesama jenis dengan kekerasan, paksaan maupun ancaman; hal ini dimaksudkan untuk mengadakan pembatasan dengan hubungan ‘suka sama suka’ antara dua orang yang sama-sama memiliki disorientasi seksual tersebut dengan hubungan antara orang yang memang memiliki disorientasi seksual dengan orang yang sebelumnya tidak memiliki disorientasi seksual (sebelumnya tergolong normal), karena hal ini berhubungan dengan kondisi psikis pelaku (keduanya memiliki disorientasi seksual, sehingga didasari hubungan suka sama suka), yang mana keinginan pribadi yang ada dalam dirinya (disorientasi seksual yang ada) yang membuat ia relatif sulit menghindari dari melakukan perbuatan tersebut. Sehingga untuk perbuatan tersebut sulit pula untuk melihat apakah ada korban yang dirugikan atau tidak. Sedangkan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan kekerasan, paksaan, maupun ancaman, korban dapat diidentifikasi, termasuk kerugian materiil maupun immateriil yang dideritanya. Perihal pemberatan pidana ini juga dianjurkan oleh tokoh aliran klasik, Jeremy Bentham (1745-1832), bahwa kebaikan terbesar harus untuk jumlah orang yang terbesar, manusia sebagai ciptaan Tuhan yang rasional pasti memilih kesenangan, maka pidana harus ditetapkan pada kejahatan sehingga kesusahan akan lebih berat daripada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan (felicifie calculus); dengan tujuan mencegah pelanggaran, termasuk pelanggaran yang paling jahat, dan menekan kejahatan berikut kerugian yang ditimbulkan.[7]

4. Memberikan sanksi tindakan berupa wajib rehabilitasi bagi pelaku perbuatan dimaksud, sehingga pengenaan sanksi ini dapat bersifat antisipatif terhadap pelaku, sebagai pembinaan atau perawatan baginya.[8]

Selain upaya penal, ada juga upaya non penal yang dapat dilakukan terkait fenomena LGBT tersebut, antara lain:

1. Penggarapan kesehatan jiwa melalui pendidikan moral, agama, dan kesusilaan sejak dini; hal ini dimaksudkan sebagai upaya preventif terhadap perbuatan tersebut, sehingga dapat memperbaiki kondisi sosial dalam masyarakat.[9]

2. Penyuluhan mengenai pengaruh buruk fenomena LGBT dalam masyarakat; penyuluhan ini juga sebaiknya dilakukan untuk meluruskan pandangan mengenai kaum LGBT sebagai kaum marjinal di masyarakat. Sehingga perlu untuk dilindungi agar mereka tidak lagi mengalami diskriminasi oleh masyarakat, melainkan ditangani dengan tepat guna memperbaiki kondisinya.

3. Kegiatan pengawasan oleh aparat penegak hukum terhadap kegiatan di Indonesia yang berpotensi memperluas maupun memperkuat pengaruh negatif fenomena LGBT dalam masyarakat, misalnya pengakuan pasangan homoseksual/biseksual/transgender secara terang-terangan melalui publikasi atau yang dipersamakan dengan itu, kegiatan perorangan maupun komunitas tertentu atau pergerakan massal yang berpotensi menjadi provokasi terhadap masyarakat; karena upaya non penal dipandang memiliki kedudukan yang strategis, maka upaya ini juga merupakan kegiatan preventif yang harus diintensifkan.[10]

4. Pemblokiran link maupun situs-situs tertentu yang berpotensi memberikan dampak negatif terkait fenomena LGBT ini; hal ini dimaksudkan juga sebagai upaya preventif, sehingga perkembangan disorientasi seksual LGBT ini tidak ‘terfasilitasi’ melalui media internet yang ada.

[1] Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hlm. 67.
[2] Setiawan Budi Utomo, Fenomena Transgender dan Hukum Operasi Kelamin, Dakwatuna, diakses pada tanggal 30 Maret 2016 Pukul 18.15 WIB, [http://www.dakwatuna.com/2009/08/12/3427/fenomena-transgender-dan-hukum-operasi-kelamin/#ixzz44NduxX4B]
[3] M Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hlm. 58-59.
[4] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana-Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Hlm. 42-43.
[5] Mira Fajri (Ketua Kajian Hukum dan HAM PP KAMMI), LGBT Dalam Perspektif Hukum Indonesia, Republika, diakses pada tanggal 30 Maret 2016 Pukul 18.27 WIB, [http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/02/29/o3a5s0388-lgbt-dalam-perspektif-hukum-di-indonesia]
[6] H Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2010, Hlm. 64.
[7] Ibid., Hlm. 65-66.
[8] Op. Cit., Teguh Prasetyo. Hlm. 88.
[9] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT ALUMNI, Bandung, 2010, Hlm. 159.
[10] Op. Cit., M Syaiful Bakhri, Hlm. 23.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun