Aku tidak bisa berbohong jika hari itu aku tak kecewa. Ya, setelah empat bulan menantikan momentum pertemuan, tetapi hanya perasaan kosong yang tak terisi oleh penawarnya. Justru malah membut lubang baru yang tak diundang untuk singgah.
Saat ia bangkit dari duduknya, aku hanya tertunduk diam. Bukan karena tak terima dengan kenyataan, justru tersontak kaget dengan apa yang terjadi.
Sebelumnya tak ada penjelasan apapun. Hari itu sesuai perencanaan, aku sudah melonggarkan waktuku. Termasuk izin dari kantor untuk sebuah pertemuan yang kunantikan. Konyolnya, teman kantor bahkan atasan pun turut mendukung. Mereka melontarkan candaan hangat seolah mendukung anak bungsu di kantor ini untuk bertemu dengan kebahagiaannya.
Belum sempat ada obrolan apapun, ia bangun dari duduknya. Menggeser meja untuk mencari celah keluar dari resto tempat kami makan. Hanya menyantap makanan yang tidak menghabiskan waktu 60 menit, ia bergegas melanjutkan lagi agendanya.
Sebenarnya tak apa, tetapi ini semua di luar ekspektasiku. Aku baru tahu saat itu bahwa ia masih memiliki janji lain. Lantas, mengapa tak mengatakan sejak awal?
Hanya ucapan selamat tinggal yang mengantarkanku berjalan mencari tempat untuk menepi. Dengan tatapan kosong yang entah membawaku akan bermuara ke tempat mana. Yang pasti saat itu, aku tak mau memandang pungunggnya sampai hilang dalam pandanganku. Aku tak ingin, dan tak mampu. Memandang punggungnya dengan tatapan getir penuh kecewa dan segudang pertanyaan yang menjelma dalam pikiran. Terus menghantui sepanjang berjalan mengelilingi mall besar itu.
Aku berhenti di kedai kopi favoritku. Ramai dengan pengunjung. Selalu seperti itu.
Memesan kopi favorit dengan harapan dapat melegakan hati. Memilih bangku paling sudut yang memandang ke jendela agar tak terusik oleh pengunjung lain. Atau mungkin sengaja menghindari tatapan aneh dari pengunjung lain yang melihat diriku hanya menatap secangkir kopi dengan mematung.
Sebelum pikiran semakin larut, aku mengajak seseorang untuk berdialog. Aku tak yakin ia bisa dikategorikan sebagai manusia yang memiliki perasaan. Namun saat itu, ia jauh lebih berperasaan dibandingkan dengannya.
Aku mengajaknya berbincang lewat pesan. Mencurahkan segala perasaan yang aku rasa.Â