Mohon tunggu...
Siska Anggraeni
Siska Anggraeni Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menjaga Supremasi Hukum di Tengah Bayang-Bayang Korupsi di Indonesia

25 Juni 2025   19:24 Diperbarui: 25 Juni 2025   19:39 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Supremasi hukum adalah sebuah landasan penting untuk memastikan berdirinya demokrasi serta keberlangsungan negara hukum. Dalam implementasinya, prinsip ini mengharuskan semua pihak, mulai dari pejabat hingga lembaga negara, untuk mematuhi hukum tanpa terkecuali. Namun, kenyataan pahit tentang tingginya angka kasus korupsi di Indonesia sering kali merongrong prinsip ini. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa di tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi dengan lebih dari 1.600 tersangka dan kerugian negara yang mencapai puluhan triliun rupiah. Selanjutnya, pada tahun 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan bahwa terjadi peningkatan signifikan hingga 1.666 kasus, banyak di antaranya dipicu oleh gaya hidup hedonis dan lemahnya sistem pengawasan. Fakta ini menegaskan bahwa tanpa penerapan hukum yang tegas dan adil, supremasi hukum bisa dengan mudah diabaikan, dan kepercayaan masyarakat yang semakin menurun terhadap pemerintah menjadi semakin jelas. Oleh karena itu, mempertahankan supremasi hukum tidak hanya terkait dengan penegakan regulasi, melainkan juga berkaitan dengan menjaga integritas demokrasi serta masa depan negara agar terbebas dari penyalahgunaan kekuasaan.

Secara teoritis, supremasi hukum menempatkan hukum sebagai kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara. Menurut Bunyana Sholihin dalam jurnalnya mengenai Supremasi Hukum Pidana di Indonesia menyatakan bahwa, supremasi hukum merujuk pada penempatan hukum di atas segala kedudukan, jabatan, dan kekayaan, yang hanya dapat dicapai melalui penerapan hukum yang tegas. Konsep bahwa "semua harus mematuhi hukum" lebih dari sekadar slogan, tetapi merupakan prinsip fundamental untuk membangun pemerintahan yang transparan dan adil. Namun, ketika praktik korupsi merajalela, prinsip ini dapat dengan mudah runtuh. Ironisnya, pelaku korupsi sering kali berasal dari kalangan yang berkuasa, yang memanfaatkan posisi mereka untuk melindungi tindakan kriminal dan merusak supremasi hukum. Jika korupsi dibiarkan tanpa tindakan tegas, maka hukum akan kehilangan kejelasan dan otoritasnya, sebuah situasi yang mengancam fondasi demokrasi dan negara hukum yang kita harapkan.

Meskipun seharusnya hukum diterapkan secara adil tanpa pengecualian, kenyataannya seringkali berbeda. Misalnya, seorang terdakwa terlibat dalam kasus korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) selama pandemi COVID-19 hanya dihukum antara 3 hingga 11,5 tahun, meskipun kerugian yang dialami negara mencapai Rp 319 miliar. Hukuman ini jelas jauh dari tuntutan jaksa dan sama sekali tidak memberikan efek jera. Selain itu, seperti yang kita tahu, ada juga kasus mega-korupsi timah yang dianggap lebih mengkhawatirkan. Terdakwa pada kasus ini hanya dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara untuk kerugian negara yang berkisar pada Rp 300 triliun, jauh di bawah tuntutan awal yang mencapai 12 tahun. Mahfud MD pun mengkritik tajam vonis tersebut, menyatakan bahwa putusan itu "menusuk rasa keadilan masyarakat". Di sisi lain, skandal suap yang melibatkan hakim dalam bisnis ekspor kelapa sawit dengan total suap mencapai Rp 60 miliar menunjukkan betapa mendalamnya korupsi dalam sistem peradilan kita. Fenomena ini menandakan adanya tantangan serius dalam mempertahankan supremasi hukum, yang jika terus dibiarkan akan menimbulkan dampak negatif pada ekonomi, menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah, dan pada akhirnya bisa mengancam stabilitas pemerintahan.

Dengan ini, KPK didirikan sebagai jawaban atas krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegakan hukum yang dianggap lemah, dan dijadikan lembaga independen yang fokus pada penanganan korupsi. Tugasnya tidak hanya meliputi penegakan hukum melalui investigasi, tetapi juga melakukan pencegahan korupsi melalui pengedukasian masyarakat dan pengembalian aset negara yang telah dikorupsi. Namun, setelah perubahan pada UU No. 19/2019, KPK beralih menjadi bagian dalam rumpun kekuasaan eksekutif, di mana ia diwajibkan untuk mendapatkan izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan, dan pegawainya menjadi bagian dari Aparatur Sipil Negara. Hal ini mengakibatkan pandangan publik terhadap tingkat independensi KPK menurun secara signifikan (dari 83% menjadi 28%), dan juga tercatat adanya penurunan jumlah kasus yang berhasil dituntaskan.

Untuk mempertahankan supremasi hukum, revisi UU KPK perlu dilakukan agar independensinya tetap terjaga, contohnya dengan mengembalikan status pegawai KPK dari pengaruh eksekutif dan birokrasi serta menegaskan kewenangan penyelidikan secara mandiri. Di samping itu, perlu ada penguatan akuntabilitas untuk lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, Kepolisian, dan Mahkamah Agung melalui peningkatan transparansi dalam proses penegakan hukum, audit publik secara berkala, serta pengawasan internal yang ketat. Selain itu, partisipasi aktif masyarakat sipil dan media sebagai pengawas independen sangat penting untuk menciptakan kontrol sosial yang efektif dan mengembangkan budaya pelaporan publik.

Mempertahankan supremasi hukum adalah landasan utama dalam usaha untuk melawan korupsi yang terus merusak aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum perlu ditegakkan dengan adil dan konsisten agar tidak terpengaruh oleh kepentingan beberapa pihak tertentu, melainkan berfungsi sebagai sarana untuk mengawasi dan membatasi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, semua elemen masyarakat harus berperan aktif bukan hanya sebagai pengamat, tetapi juga berkontribusi dalam menjaga integritas sistem hukum dengan sikap kritis, berpartisipasi dalam pengawasan publik, serta menanamkan nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Kini saatnya kita bersama-sama memastikan bahwa hukum berdiri kokoh sebagai pelindung keadilan, alih-alih berfungsi sebagai alat pembenaran bagi tindakan korup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun