Mohon tunggu...
Hasna A Fadhilah
Hasna A Fadhilah Mohon Tunggu... Administrasi - Tim rebahan

Saya (moody) writer. Disini untuk menuangkan unek-unek biar otak tidak lagi sumpek.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

5 in 10: Jejak Langkah Tanpa Lelah di Lima Negara

9 Januari 2018   20:21 Diperbarui: 10 Januari 2018   15:54 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Ketika periode beasiswa dan kuliah saya di UK hampir usai, saya masih kebelet banget untuk travelling ke banyak negara. Bucketlist terakhir waktu itu adalah: Kroasia, Slovenia, Slovakia, Austria, dan Swiss. Nah, sayangnya waktu yang saya punya sangatlah terbatas, hanya sepuluh hari dari tiga puluh hari yang ada. Maklum, selain budget limit dari beasiswa, orangtua di kampuang sudah mencak-mencak karena bang toyib, eh anak gadisnya nggak pulang-pulang. 

Di sisi lain, tesis saya juga tak kunjung rampung, belum lagi jatah kerja part-time di lab yang bertambah setelah kuliah usai. Dengan semua yang serba mepet dan saling kejar satu sama lain, bimsalabim dengan the power of kepepet... akhirnya H-1 saya sebelum berangkat travelling semuanya rebes: tesis saya submit, ke manajer lab pun saya berhasil pamit.

Perjalanan super ambisius saya pun dimulai ketika menginjak tanah Kroasia. Di negara yang berbatasan dengan Balkan di wilayah tenggaranya, saya dan Atti Afira, seorang kawan dari Malaysia sedikit agak tercengang karena Osijek, kota yang kami kunjungi ternyata suasananya lebih mirip pedesaan di Indonesia. Selain populasi satu kota yang hanya 108.000 penduduk (1,1% dari total penduduk Jakarta), toko-toko, termasuk tempat wisata tutup lebih awal dibandingkan di UK, meski itu hari kerja. 

Yang menarik, ketika kami berjalan menuju Ante Starcevic Square, kami dihampiri oleh wanita paruh baya dengan sepeda yang menyalami kami dengan gembira sambil berkata, "oh..it is lovely to see you here. Not many people from South East Asia, especially girls with hijab come to visit my town. Welcome.. welcome!" Setelah menyalami kami, tak lama kemudian ia mengayuh sepedanya kembali dengan gembira. Kami yang masih tertegun dengan sambutan hangatnya jadi merasa aman ketika tiba disini.

Setelah satu jam berjalan mengitari kota, kami lalu memutuskan untuk singgah istirahat dan sholat di sebuah masjid kecil di area ruko. Sesampainya disana, seorang nenek menyambut kami ramah dengan bahasa lokal. Meski diliputi perasaan haru dan senang, sebenarnya kami 1000% tidak mencerna dan memahami apa yang ia ucapkan. Untunglah, seorang laki-laki muda kemudian keluar dan menerjemahkan apa yang dikatakan wanita itu pada kami dengan bahasa inggris. Pfiuuh..

"Come inside," katanya penuh senyum yang menggoda iman. Ketika sudah di dalam masjid, ia menerangkan bahwa space untuk perempuan ternyata sangatlah terbatas, bila kami ingin sholat, kami perlu menunggu jamaah pria selesai terlebih dulu karena hari itu kebetulan juga adalah hari Jumat. Sembari mengiyakan instruksinya, kami diajak masuk ke dapur oleh si nenek tadi. 

Di dapur, sudah ada dua wanita lain yang juga menyambut kami dengan suka cita. Meski komunikasi kami berjalan ala tarzan, perkenalan awal kami bisa dibilang cukup sukses. Dari apa yang saya tangkap, setiap Jumat mereka datang secara sukarela kesini untuk memasak dan menyiapkan makanan bagi jamaah. Oh ya jangan bandingkan jamaah sholat Jumat disini dengan di Indonesia!

Waktu kami datang, hanya sekitar tiga puluhan laki-laki yang datang. Itu pun banyak dari mereka yang harus segera kembali bekerja usai sholat. Meski muslim Osijek termasuk kelompok minoritas, hubungan muslim dengan non-muslim disini masih berjalan dengan baik. Bahkan mereka sudah terbiasa saling membantu satu sama lain. Salah satu dari volunteer yang tadi kami temui di dapur pun ternyata bukan seorang muslim. 

Ketika kami tanya, apa yang membuat ia tertarik kesini, ia berkata bahwa ia senang membantu dan ia menyukai suasana di masjid ini. Ketika kami gali, ia pun menguraikan bahwa prinsip hidupnya hampir sama dengan quote Albert Schweitzer: "the purpose of human life is to serve, and to show compassion and the will to help others regardless of their religion."

Mendengar pengakuannya, pintasan konflik antar agama di belahan negara dunia menyeruak di benak saya.. andai tiap umat beragama memiliki prinsip seperti perempuan ini, bukan hal yang mustahil bila perdamaian dapat diwujudkan.

Perjumpaan dengan ibu berhati mulia di Kroasia bisa dibilang hanyalah pembuka jejak petualangan kami di wilayah Eropa timur. Namun tidak hanya cerita inspiratif yang kami dapati, beberapa peristiwa ciamik juga kami alami. 

Dari dari dicurigai sebagai pengungsi illegal oleh petugas imigrasi Austria, digratiskan perjalanan seharian oleh petugas transportasi di Slovenia, bahkan kami juga tidak ketiggalan 'dihadiahi' sumpah serapah tour guide rasis di Slovakia. Untunglah kejadian seperti ini bukan sekali dua kali saya alami, jadi bisa dibilang saya sudah kepalang kebal karena saya selalu mengeluarkan jurus pamungkas untuk menanggapi orang super rasis yang terbukti ampuh dan bikin keki si pelaku, yakni mengeluarkan senyum termanis dan terlebar seantero dunia dan bilang: thank you for your compliments and have a great day!

Disamping mengalami hal-hal ajaib seperti tadi, one achievement that we gained was we succeed making this trip as another regular exercise. Yep! Menjejakkan kaki di Swiss, utamanya di Zurich dan Basel adalah salah satu perjalananan dimana jalan kaki kami selama hampir tiga jam nonstop tidak terasa sama sekali. Rahasianya sih cuma satu: kami sudah menyiapkan Geliga Krim di ransel. 

Oh ya, berjalan menyusuri kawasan Zurich adalah bagaikan menyaksikan pameran mobil mewah di tiap ruas jalan rayanya. Dari Ferrari F430 sampai Lamborghini Aventador, semua brand mobil mewah sepertinya bisa kita temui di tiap tikungan. Jadi bisa dibilang kota Zurich adalah kota branded dimana orangnya tidak mengenal barang murahan. 

Sayangnya kami disana tidak berlama-lama, selain living-cost yang tingginya ampun-ampunan (ke toilet aja hampir tiga puluh ribu rupiah sendiri), kami masih harus mengejar spot-spot menarik di Basel sebelum kembali ke negeri Ratu Elizabeth.

Meski perjalanan lima negara ini terasa singkat, rasa lelah hingga kaku otot tidaklah menjadi masalah besar bagi kami. Bukan karena kami sekuat Wonder Woman, tapi karena kami selalu siap sedia Geliga Krim dimanapun kami pergi, jadi pegal-pegal pun hilang seketika!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun