Â
Dengan wajah semerah stroberi, aku pun melakukan permintaannya. Ia sigap membopongku. Belum pernah aku berada sedekat ini dengan seorang pria. Aroma tubuhnya membuat perutku melilit. Wangi sabun bercampur rokok dan keringat. Situasi ini membuatku jengah. Jantungku pun berdebar tak keruan. Rahang wajahnya begitu dekat. Dan beberapa kali bibirku tak sengaja menyentuh lehernya karena tubuhku yang terayun tak menentu akibat jalan setapak yang tak rata.Â
Â
Ternyata tubuh yang kurus tersebut cukup berotot. Dengan mudah, ia menggendongku seperti boneka tanpa bobot. Tanpa kesulitan berarti ia pun membawaku mendaki jalan setapak yang terjal. Memang berbeda ya pria yang dilahirkan di lereng gunung. Tubuhnya kurus, tapi kedua kakinya sangat kuat dan seimbang ketika menapak. Ia meletakkanku di pos ronda yang kosong. Kemudian, ia mengamatiku dengan penuh intimidasi hingga membuat perasaanku tak nyaman. Aku tak bisa menebak pikiran pria tersebut. Ia terus menatap dan menatapku seperti harimau kumbang mengawasi calon buruannya dari atas pohon.
Â
Akhirnya, setelah ribuan detik yang canggung, bibir pria itu mengeluarkan suara. "Siapa namamu?"
Â
"Ima Darayan. Panggil saja Ima."
Â
"Aku Alam. Tepatnya Ujang Alam."
Â