Selama 5 hari, Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) dilakukan di halaman kampus. Tapi pada hari keenam, acara baris-berbaris ini dilakukan di Lembang agar ada nuansa healingnya. Udara dingin Lembang sangat segar. Hamparan tanaman teh sungguh memanjakan mata dengan berbagai nuansa hijau.
     "SATU PER SATU MASUK TRUK ATAU BIS, YA. KITA AKAN LATIHAN BARIS-BERBARIS DI LEMBANG. JANGAN SAMPAI KETINGGALAN KELOMPOK!" ujar Kang Roni dengan lantang. Ia tampak panik seperti induk ayam yang heboh menjaga keselamatan anak-anaknya.
    Dengan patuh pasukan semut hijau itu memasuki kendaraan militer diiringi tawa tertahan warga sekitar yang menonton di tepi jalan. Bahkan, beberapa pengemudinya merupakan tentara-tentara muda yang gugup menyaksikan kecentilan yang menguar dari cami-cami. Maklum darah muda. Nggak bisa liat ada pria gagah sedikit, langsung tebar pesona. Siapa tahu dapat jodoh! Tak heranlah jika cami-cami duduk seanggun mungkin seolah-olah seragam LDK kedodoran yang dipakai ialah gaun putri kerajaan yang terbuat dari satin halus.
 "ADUH, PAK. JANGAN NGEBUT-NGEBUT GITU DONG! BIKIN JANTUNGAN AJA! KITA BELUM MAU MATI MUDA NIH! BELUM KAWIN. MEMANGNYA BAPAK MAU TANGGUNG JAWAB JIKA AKU JADI POCONG PERAWAN?" jerit seorang cami berambut ikal dengan suara menggoda. Teman-temannya pun langsung merespon dengan teriakan setuju yang membahana. Euforia keriangan menular ke seisi bis. Bahkan, Rani yang pendiam pun tersenyum simpul.
     Keruan pengemudi tentara muda langsung menginjak rem. Terlalu gugup dengan kecentilan sang cami. Semburat merah apel menyebar di wajahnya yang sawo matang. Apakah ia tak pernah berada dalam ranah perang cinta?
     "BAPAK, YANG BENAR DONG NYETIRNYA! MEMAR NIH TUBUHKU. SIAPA YANG BAKAL MIJITIN?" canda seorang cami sembari mengusap lengan kirinya yang terantuk kaca jendela.
     "PAK, MASIH SINGLE, KAN? WAJAH BAPAK YANG TERSIPU MENGHANTUI HATIKU. MUNGKINKAH INI TANDANYA BENIH-BENIH CINTA? KAPAN BAPAK AKAN DATANG KE RUMAH ORANGTUAKU?" lamar seorang cami yang langsung disambut teriakan buhuuu dari kawan-kawannya.
     "GOMBAL ABIS."
     "DAPATIN KAMU? KASIHAN AH BAPAK TENTARANYA."
     "RAYUAN KELAS KAKAP NIH! JAM TERBANGNYA SUDAH TINGGI. SETINGGI BINTANG DI LANGIT..."
     "SAMBAR AJA TERUS. PANTANG MUNDUR."
  Sang pengemudi pun tersenyum kecut. Aduh, mimpi apa ia semalam? Ternyata yang ia angkut bukan sembarang cami, tapi reinkarnasi perempuan Amazone yang agresif.
     Matahari mulai menyengat. Keringat mulai bercucuran. Tapi para dewa-dewi mapram tak mempedulikan kegelisahan pengikutnya yang merayap bergelimpangan seperti cacing kepanasan di kebun teh. Mereka tampak begitu bahagia menyiksa batin. Kesenangan mewah yang hanya didapat setahun sekali.
     Tak ada satu pun cama atau cami yang berpakaian bersih. Semuanya ternoda lumpur. Inilah yang namanya persamaan hak.
     "Rani, licik banget. Masa setiap penggojlokkan kau berhasil kabur?" keluh Irma. Rambutnya yang dikepang dan penuh pita yang tadinya berwarna putih, tampak seperti tali tambang lusuh.
     Rani menyeringai. Wajahnya sepolos bayi. "Aku tak melakukan apa pun."
     "Bohong! Kau bohong!" Sanggah Irma sembari berkacak pinggang. Seluruh wajah dan tubuhnya bermandikan lumpur. Hanya kedua pupil matanya yang bercahaya. "Aku tak percaya. Dewi fortuna selalu berpihak padamu. Bahkan, tadi pun kau memperoleh rute yang mudah. Sementara aku memperoleh rute tersulit. Sudah harus naik bukit. Menyusuri parit hingga aku jatuh terguling. Belum lagi Komdis-nya jutek abis. Kau pasti main mata dengan salah satu senior cowok!"
     Rani tersenyum kalem. "Jangan berkhayal hal mustahil! Mana mungkin aku bisa mendekati senior cowok? Jika aku melakukannya, pasti senior cewek sudah mendampratku. Kau hanya tak beruntung. Mungkin lain kali bintangmu bersinar terang."
     "Hey, gadis licik! Aku membenci senyum tak berdosamu. Tak ada kata lain kali. Ini kan hari terakhir LDK. Masa kau tak iba padaku? Setidaknya, tolong bersihkan wajahku yang seperti kue lumpur ini," ujar Irma dengan suara hampir menangis. Ia memang seperti boneka pematang sawah yang disiram lumpur.
     Mulut Irma memang segarang singa, tapi hatinya selembut bulu koala. Rani pun cekikikan. Dengan lembut, ia berusaha membersihkan wajah temannya itu dengan tissue basah. Tapi mustahil untuk melenyapkan semua noda lumpur membandel yang sudah mengerak sempurna tersebut.
*** Â Â
     "Rani, kau salah lagi. Seharusnya, kau berputar lalu sibakkan kedua lenganmu ke samping seperti ini. Ibaratnya bunga yang merekah," ujar Mas Joko, tentara berpangkat Sersan Dua yang melatih gerakan tari poco-poco untuk terakhir kalinya pada acara gladi resik penutupan LDK.
     Dengan putus asa, Rani berusaha menirukan gerakan lincah Mas Joko. Tapi tubuhnya yang sekaku kawat, tak mau menuruti perintah otaknya. Aduh, gawat! Ia menggigit bibir mungilnya. Bagaimana jika kelompoknya kalah dalam perlombaan koreografi kelompok dan dihukum akibat gerakannya yang tak kompak? Mereka pasti membencinya.
     "Bukan begitu, Rani. Lihatlah lagi baik-baik! Ayunkan kaki kananmu seperti ini. Kemudian, angkat kedua lenganmu. Berputarlah dengan cepat!" kata Mas Adi, rekannya Mas Joko yang bertubuh lebih kurus. Ia tampak putus asa dengan Rani yang seperti reinkarnasi boneka kayu. Bagaimana mungkin gadis semampai ini tak sanggup melakukan tarian sederhana? Padahal setengah jam lagi acara penutupan LDK akan dimulai.
     Rani sungguh penasaran. Kok tentara-tentara yang tegap dan berotot ini, luwes sekali menari poco-poco. Tubuh mereka lentur seperti karet. Sementara gerakan tari Rani tak kunjung membaik. Semakin lama wajahnya semakin pucat. Karena gugup, gerakan tarinya pun semakin kacau. Huhu!
     Akhirnya, Mas Joko pun terpingkal. "Ini tarian kungfu dewa mabuk, bukan poco-poco. Rani memang berbakat."
     Komentarnya disambut gelak tawa cama-cami teman sekelompok Rani. Harus diakui menonton tingkah Rani yang gelagapan sungguh menghibur. Memang menyadari orang lain lebih menderita, membuat diri sendiri merasa lebih bahagia.
     "Sudah, gerakan tarian Rani kan mencolok. Lebih baik posisi Rani di tengah kelompok saja. Jadi, walaupun gerakannya beda sendiri, ia akan tampak bagus."
     Acara penutupan LDK dibuka dengan sambutan Rektor yang merupakan seorang pensiunan Jenderal TNI AD. Tarian poco-poco yang dibawakan serempak oleh berbagai kelompok dengan koreografi berbeda, sangatlah menghibur. Yel-yel pun terdengar bersahut-sahutan. Derap langkah kaki bagaikan gelombang getaran yang merambat dan menghentak. Strategi Mas Joko pun sukses. Kelompok Rani tampil cukup memuaskan dan tak dihukum.
     Doa penutup yang panjang dipimpin oleh seorang Ustaz. Kemudian, dilanjutkan atraksi baris-berbaris yang dilakukan seluruh peserta LDK. Gemuruh langkah kaki mengusir keheningan di lapangan rumput itu.
     Tawa riang terdengar dari penonton yang merupakan orangtua cama-cami dan warga sekitar. Bisikan terlontar.
     "Aduh, barisannya kurang lurus. Kalah sama suami-suami tentara kita."
     "Yang semangat. Jangan kalah dengan matahari!"
     "Tegapkan barisan. Masa lunglai?"
     "Nggak serempak ih."
     Para keluarga tentara itu pun sibuk menyemangati cama-cami yang lemas kelelahan bagaikan tanaman yang kurang air. AYO, SEMANGAT!
      Setelah baris-berbaris, acara pun ditutup dengan tembakan meriam. Selamat datang cama-cami! Selamat datang keluarga baru TNI AD!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI