"DAPATIN KAMU? KASIHAN AH BAPAK TENTARANYA."
     "RAYUAN KELAS KAKAP NIH! JAM TERBANGNYA SUDAH TINGGI. SETINGGI BINTANG DI LANGIT..."
     "SAMBAR AJA TERUS. PANTANG MUNDUR."
  Sang pengemudi pun tersenyum kecut. Aduh, mimpi apa ia semalam? Ternyata yang ia angkut bukan sembarang cami, tapi reinkarnasi perempuan Amazone yang agresif.
     Matahari mulai menyengat. Keringat mulai bercucuran. Tapi para dewa-dewi mapram tak mempedulikan kegelisahan pengikutnya yang merayap bergelimpangan seperti cacing kepanasan di kebun teh. Mereka tampak begitu bahagia menyiksa batin. Kesenangan mewah yang hanya didapat setahun sekali.
     Tak ada satu pun cama atau cami yang berpakaian bersih. Semuanya ternoda lumpur. Inilah yang namanya persamaan hak.
     "Rani, licik banget. Masa setiap penggojlokkan kau berhasil kabur?" keluh Irma. Rambutnya yang dikepang dan penuh pita yang tadinya berwarna putih, tampak seperti tali tambang lusuh.
     Rani menyeringai. Wajahnya sepolos bayi. "Aku tak melakukan apa pun."
     "Bohong! Kau bohong!" Sanggah Irma sembari berkacak pinggang. Seluruh wajah dan tubuhnya bermandikan lumpur. Hanya kedua pupil matanya yang bercahaya. "Aku tak percaya. Dewi fortuna selalu berpihak padamu. Bahkan, tadi pun kau memperoleh rute yang mudah. Sementara aku memperoleh rute tersulit. Sudah harus naik bukit. Menyusuri parit hingga aku jatuh terguling. Belum lagi Komdis-nya jutek abis. Kau pasti main mata dengan salah satu senior cowok!"
     Rani tersenyum kalem. "Jangan berkhayal hal mustahil! Mana mungkin aku bisa mendekati senior cowok? Jika aku melakukannya, pasti senior cewek sudah mendampratku. Kau hanya tak beruntung. Mungkin lain kali bintangmu bersinar terang."