Dr. H. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd.
Dosen Tetap S2 Manajemen Pendidikan Islam
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Kakek saya pernah bercerita. Beliau yang mantan Wedana di Sukabumi, dengan sarung yang agak lusuh tapi wajah teduh, berkata, "Kemerdekaan itu seperti rumah yang diwariskan oleh orang tua kita. Kalau kita tidak rajin merawatnya, membersihkannya, dan memperbaiki yang rusak, rumah itu akan roboh, meskipun dulu dibangunnya dengan darah dan air mata." Kata-kata itu sederhana, tapi mengandung hikmah yang dalam.
Pada usia delapan puluh tahun, Indonesia ibarat orang tua yang telah melewati masa-masa penuh ujian, belajar dari kesalahan, dan mengumpulkan kebijaksanaan. Tema "Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju" bukan sekadar kata-kata puitis di spanduk. Ia adalah cermin yang memantulkan empat pilar yang harus kita jaga bersama jika ingin rumah besar bernama Indonesia ini tetap kokoh hingga anak-cucu kita dewasa.
*Bersatu* adalah fondasi dari rumah itu. Tanpa persatuan, apa pun yang kita bangun akan runtuh. Saya teringat cerita seorang teman yang lama tinggal di kapal nelayan. Katanya, di laut, tak peduli dari suku atau daerah mana, semua awak kapal saling membantu. Karena mereka tahu, jika satu orang lalai, semua bisa celaka. Inilah logika sederhana persatuan: kesadaran bahwa nasib kita saling terkait.
Persatuan di Indonesia tentu lebih kompleks. Kita hidup dalam mozaik ribuan pulau, ratusan bahasa, dan beragam agama. Persatuan yang sehat bukan berarti semua harus seragam, tapi semua mau duduk bersama, saling mendengar, dan mencari titik temu.Â
Tantangan di era digital justru terletak pada bagaimana menjaga ruang publik dari kebisingan yang memecah belah. Media sosial, yang seharusnya menjadi jembatan, sering kali berubah menjadi jurang pemisah. Maka, tugas kita adalah mengembalikan kesantunan dalam percakapan publik dan memulihkan rasa hormat dalam perbedaan.
*Berdaulat* berarti rumah ini berdiri di atas tanah sendiri, tidak mudah digoyahkan orang luar. Saya teringat sebuah kisah di desa nelayan di salah satu pesisir laut di Jawa Barat. Ketika pemerintah membantu mereka membeli kapal dan mesin, awalnya semua senang.Â
Namun, setelah beberapa tahun, mesin-mesin itu rusak, dan mereka kesulitan memperbaikinya karena semua suku cadang impor. Dari situ saya belajar, kedaulatan bukan hanya soal memiliki alat, tetapi juga menguasai teknologi, punya kemampuan memperbaiki, dan tidak bergantung sepenuhnya pada pihak luar.