Mohon tunggu...
Sinthike AnggitaLetean
Sinthike AnggitaLetean Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa yang sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggunakan Pandangan Kasih dalam Menyikapi Cancel Culture

11 November 2021   10:00 Diperbarui: 11 November 2021   10:04 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

oleh: Sinthike Anggita Letean 

Cancel culture atau budaya pengenyahan adalah suatu budaya pengusiran atau dikeluarkan dari lingkungan sosial baik di dunia maya maupun dunia nyata untuk menghilangkan pengaruh seseorang di masyarakat. 

Lalu berdasarkan kutipan dari kamus Merriam-Webster, cancel culture dapat diartikan sebagai aksi pembatalan yang berkaitan dengan pencabutan dukungan terhadap tokoh masyarakat sebagai tanggapan atas perilaku atau pendapat yang tidak menyenangkan. Hal ini dapat mencakup boikot atau penolakan untuk mempromosikan pekerjaan mereka. Isu mengenai cancel culture sedang banyak dibahas di media-media sosial baik didalam maupun diluar negeri dalam beberapa tahun terakhir ini. 

Salah satu contoh kasus cancel culture yang dialami oleh seorang artis baru-baru ini adalah aktor Kim Seon-ho, artis dari Korea Selatan ini mengalami cancel culture setelah tersebarnya pengakuan seorang wanita yang katanya mantan kekasih Kim Seon-ho yang dipaksa melakukan abosri oleh Kim Seon-ho. Munculnya masalah tersebut kemudian membuat Kim Seon-ho mengalami cancel culture dari para netizen dan menerima banyak hujatan, caci maki, bahkan tuntutan untuk mundur dari dunia pertelevisian.

Budaya cancel culture ini awalnya bermula dari munculnya frasa baru dalam bahasa gaul di China pada tahun 1991 yaitu “renrou sousuo” atau diterjemahkan sebagai human flesh search. Istilah ini kemudian mengacu pada upaya mencari informasi mengenai orang tertentu tertentu untuk mengidentifikasi individu yang dicurigai melakukan hal menyimpang, lalu orang tersebut akan mendapatkan kecaman dan dikeluarkan dari komunitas. 

Kemudian dari istilah tersebut berkembang menjadi cancel culture dan mulai marak pada tahun 2017 saat kasus Harvei Weinstein terungkap, dan istilah ini pun masih terus berlangsung hingga saat ini. 

Cancel culture ini banyak terjadi di negara maju atau di kota-kota besar seperti New York dan Korea Selatan, dan kebanyakan dari korban cancel culture ini adalah para public figure seperti artis, pejabat, atau perusahaan, yang tersandung skandal besar lalu dihujat oleh masyarakat dunia maya hingga tidak jarang terjadi boikot.

Jika melihat kembali kasus-kasus cancel culture yang menimpa para public figure baik didalam maupun diluar negeri, tentu sangat sulit untuk dihadapi jika berada diposisi tersebut karena akibatnya sangat berdampak luas bagi korban dari cancel culture ini. Dampak kerugian yang dialami dari cancel culture ini juga beragam, mulai dari terganggunya kondisi psikologis atau mental sang korban karena banyaknya hujatan dan caci maki yang didapatkan dari msasyarakat baik di media sosial maupun di dunia nyata. 

Lalu ditambah dengan skandal atau permasalahan yang harus dihadapi dan diselesaikan, tentu membuat korbannya bisa saja menjadi stress dan gangguan mental lainnya. 

Kerugian lainnya yaitu hilangnya atau berkurangnya pekerjaan yang didapatkan, karena banyak pihak yang membatalkan kerjasama atau bahkan memutuskan kontrak kerja, serta tidak jarang terjadi boikot seperti yang banyak dialami oleh para artis dan pejabat. Banyaknya kritikan berupa hujatan dan caci maki yang dilontarkan oleh netizen di media sosial kepada seseorang yang mengalami skandal, tidak jarang mengandung hal yang menyakitkan dan kurang pantas untuk diungkapkan di media sosial. 

Bahkan tidak jarang justru kritikan atau ujaran yang disampaikan mengarah kepada pembulyan sebagai bentuk pelampiasan emosi atas sikap atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap kurang pantas dan tidak bermoral. Memang pada dasarnya memberikan kritik, pendapat atau pandangan baik itu verbal maupun non-verbal kepada seseorang bukanlah suatu hal yang dapat disalahkan namun, perlu diingat bahwa kita perlu berpikiran secara luas dan tidak mudah menarik kesimpulan terhadap suatu hal dan cara penyampaian kritik haruslah baik dan benar serta tidak melukai orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun