Mohon tunggu...
Dr. Agus Rizal
Dr. Agus Rizal Mohon Tunggu... Akademisi

Akademisi dan praktisi di bidang ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Generasi Z: Tegas Lawan Feodalisme, Tuntut Keadilan, tapi Tetap Gaya

13 Agustus 2025   15:33 Diperbarui: 13 Agustus 2025   15:33 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Generasi muda, khususnya Generasi Z, tengah menggeser peta nilai dan kekuasaan global. Mereka menuntut kesetaraan hak dan timbal balik sosial yang jelas dari negara, perusahaan, dan institusi, sambil mempertanyakan relevansi kontrak sosial lama yang mengajarkan bahwa kerja keras otomatis berbuah kesuksesan. Dorongan ini bukan sekadar idealisme kosong, melainkan respons atas ketidakpuasan mendalam terhadap ketimpangan ekonomi, krisis iklim, dan stagnasi mobilitas sosial yang makin terasa. Fenomena seperti The Great Resignation, quiet quitting, gelombang protes iklim, penolakan magang tanpa gaji, dan boikot berbasis nilai merefleksikan sikap generasi ini yang enggan tunduk pada sistem yang dianggap timpang. Survei Edelman Trust Barometer 2024 menunjukkan kepercayaan anak muda terhadap pemerintah, media, dan bisnis berada pada titik terendah dalam satu dekade, menegaskan krisis legitimasi institusi lama di mata mereka.

Namun, tantangan yang mereka hadapi tidak hanya datang dari sistem ekonomi dan politik, tetapi juga dari budaya kerja yang masih sarat otoritarianisme dan feodalisme. Di berbagai belahan dunia, termasuk Asia, hierarki kaku, senioritas buta, dan pengambilan keputusan sepihak masih mendominasi organisasi. Studi Harvard Business Review (2024) mengungkap bahwa 44% pekerja milenial dan Gen Z di Asia-Pasifik merasa takut mengkritik atasan karena risiko pembalasan. Budaya feodal modern ini mematikan kreativitas, menghambat inovasi, dan mempercepat turnover talenta. Sebagai respons, generasi ini tidak segan meninggalkan perusahaan toksik, membongkar praktik buruk di media sosial, dan memilih organisasi dengan kepemimpinan partisipatif yang lebih transparan.

Menariknya, meskipun sering diasosiasikan dengan budaya konsumtif dan gaya hidup hedon, Generasi Z menunjukkan preferensi ideologis yang cenderung berpihak pada negara dengan prinsip kesetaraan sosial. Fenomena ini dapat dianalisis melalui kerangka Generational Cohort Theory (Mannheim, 1952) yang menjelaskan bagaimana pengalaman kolektif membentuk orientasi politik dan sosial suatu generasi. Paparan terhadap krisis global sejak usia muda membuat mereka lebih sensitif terhadap isu keadilan dan kesetaraan, meski pada saat yang sama mereka juga menikmati fleksibilitas gaya hidup dan kemudahan teknologi yang menopang kenikmatan pribadi.

Generasi ini juga mahir menggunakan teknologi sebagai senjata ideologis. Media sosial, forum digital, dan ruang diskusi daring menjadi alat efektif untuk membongkar ketidakadilan, mengorganisir aksi, dan membangun narasi tandingan terhadap propaganda institusional. Mereka tidak ragu memviralkan bukti pelanggaran etika kerja, menekan perusahaan dengan hashtag campaign, hingga memengaruhi opini publik dalam waktu singkat. Inilah yang membuat kekuatan Generasi Z sulit diabaikan: mereka tidak hanya memprotes di jalan, tetapi juga menguasai medan tempur digital, memadukan idealisme kesetaraan sosial dengan keterampilan komunikasi instan yang membentuk gelombang perubahan global.

Di balik stereotip sebagai generasi rapuh atau manja, kenyataannya Generasi Z memiliki daya tahan dan ketangguhan yang tidak bisa diremehkan. Mereka tumbuh dalam era ketidakpastian global, melewati krisis keuangan, pandemi, disrupsi teknologi, dan ancaman iklim, namun tetap mampu beradaptasi dan menciptakan peluang baru. Kekuatan mereka terletak pada keberanian untuk bersuara, kecepatan belajar, serta kemampuan menggabungkan pengetahuan lintas disiplin untuk memecahkan masalah. Bagi mereka, bertahan hidup bukan sekadar menerima keadaan, melainkan mengubah sistem agar bekerja lebih adil dan berkelanjutan.

Generasi Z telah mengirim sinyal yang jelas: mereka bukan sekadar penonton perubahan, melainkan aktor utama yang siap mengguncang tatanan lama. Bagi pemimpin bisnis, pemerintah, dan institusi, mengabaikan suara mereka sama saja dengan menyiapkan kehancuran legitimasi sendiri. Di era ini, kekuatan bukan lagi ditentukan oleh seberapa ketat aturan ditegakkan dari atas, tetapi seberapa cepat sebuah sistem mampu beradaptasi dengan nilai-nilai keadilan, transparansi, dan kesetaraan yang diperjuangkan oleh generasi penerus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun