Mohon tunggu...
V.L. Sinta Herindrasti
V.L. Sinta Herindrasti Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia, Jakarta - INDONESIA

V.L. Sinta Herindrasti adalah lulusan sarjana Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Master of Arts International Studies: Asia Pacific Region School of Politics Nottingham University UK. Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia sejak 2007 setelah sebelumnya bekerja pada jaringan NGO Asia (AsiaDHHRAs) dan FAO-UN. Sejak 2014 menjabat sebagai Ketua Program Studi Hubungan Internasional Fisipol UKI dan Editor Jurnal “Sociae Polites” serta Chief Editor Jurnal Asia Pacific Studies (APS). Penelitian dan kajian yang dilakukan terkait studi kawasan Eropa, Asia Tenggara, Asia Pasifik serta Geopolitik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pakta Aukus Asia Pasifik: Perang Dingin Babak Baru?

7 Oktober 2021   08:01 Diperbarui: 9 Oktober 2021   02:20 1713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | sumber: Envato Elements (edval)

Headline The jakarta Post Jumat 17 September 2021 menyentak pembaca, khususnya pemerhati hubungan internasional. "AUKUS defense pact puts Indonesia in tight spot. Jakarta informed shortly before US-Australia declaration". Teater geopolitik regional Asia Pasifik seolah kembali bergelombang. Betapa tidak.

Kita paham sejauh isu politik internasional menyangkut Amerika Serikat pasti perlu dicermati. Apalagi jika manuver tersebut terjadi di kawasan Asia Pasifik. 

Selain Asia Tenggara, Asia Pasifik adalah konsentrik Indonesia dalam politik luar negeri. Yang kemudian melibatkan tetangga terdekat Australia. 

Tetangga yang unik karena meski dekat secara fisik geografis namun secara historis mempunyai hubungan yang sensitif akibat budaya dan orientasi yang berbeda.

Ada berbagai aspek tentunya jika berita tersebut menarik perhatian. Yang pertama sangat jelas, teater geopolitik Asia Pasifik akhir-akhir ini menunjukkan gejolak. Ada berbagai aktor negara dan aliansi eksis di Asia Pasifik. 

Dari perspektif "power" terdapat negara "super" (AS, China), "middle" (Australia, New Zealand, Jepang, Korea Selatan), ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam) dan "small island development states" (negara kepulauan Pasifik Selatan) selain aliansi keamanan yang sudah ada seperti FPDA (Five Power Defence Arrangement) beranggotakan Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura dan Quad 2007 (AS, Australia, India, Jepang). 

Pakta AUKUS (Australia, UK, US) yang dideklarasikan bersama oleh Presiden AS Joe Biden, PM Australia Scott Morrison dan PM Inggris Boris Johnson di White House Washington, DC. 16 September 2021 pada dasarnya merupakan pakta kerja sama trilateral yang dikembangkan dalam bidang pertahanan dan keamanan, seperti yang dinyatakan oleh pemerintah Australia:

"... AUKUS is based on our enduring ideals and a shared commitment of our three countries to a stable, secure and prosperous Indo-Pacific region. AUKUS will deepen diplomatic, security and defence cooperation between Australia, the United Kingdom and the United States with a focus on joint capabilities and interoperability - initially focusing on cyber capabilities, artificial intelligence, quantum technologies and additional undersea capabilities.." (sumber).

Di tengah konteks rivalitas dan perang dagang AS-China di tingkat global dan lingkungan strategis regional yang dianggap memburuk, AUKUS jelas menimbulkan reaksi. Tidak hanya dari kompetitor AS namun juga dari aliansinya.

Hasil utama pakta AUKUS adalah dukungan bagi AL Australia untuk mendapatkan setidaknya delapan kapal selam bertenaga nuklir selain kerja sama baru di bidang siber, kecerdasan buatan, teknologi kuantum dan kemampuan bawah laut. Dibandingkan dengan kapal selam konvensional, kapal selam nuklir mempunyai keunggulan lebih dari segi kecepatan, manuver, ketahanan, deteksi.

AUKUS diyakini akan meningkatkan perlombaan senjata diantara negara besar dan tidak terkecuali menciptakan "perang dingin baru" mengingat sudah adanya sengketa di Laut China Selatan antara China versus Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia.

Sebagai mitra wicara ASEAN, Australia dianggap akan melanggar komitmen terhadap prinsip-prinsip keamanan regional, stabilitas dan kemanan di Asia Tenggara sesuai Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dimana Australia menyetujui pada 2015.

Sementara terkait isu nuklir, Australia akan dipertanyakan kepatuhan terhadap The Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) dan konsistensi dengan perjanjian bebas nulkir atau SEANWFZ Treaty (The Treaty on the Southeast Asia Nuclear-Weapon Free Zone.

Intinya kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik akan terseret dalam arena rivalitas dan konflik China versus AS dan sekutunya. Sesuatu yang tidak diinginkan Indonesia dengan politik luar negeri bebas aktifnya.

Oleh Indonesia dan ASEAN, Australia jelas dilihat dalam beragam wajah. Wajah kecurigaan tidak lain sebagai Deputy Sheriff di Asia Pasifik bagi kepentingan AS dan sekutunya dengan intensi khusus seperti dalam kasus kemerdekaan Timor Leste; kebijakan luar negeri hanya sebagai outlet masalah politik dalam negeri yaitu turunnya dukungan politik terkait penanganan COVID-19 di Australia, menciptakan ketegangan baru di kawasan terutama dengan New Zealand terkait pakta ANZUS yang sudah berjalan 70 tahun serta menimbulkan reaksi khusus China.

Dalam berbagai kesempatan setelah deklarasi AUKUS Australia menjelaskan posisinya baik terhadap pemerintah Indonesia, Perancis, ASEAN maupun publik Asia Pasifik dan dunia. 

Seperti yang ditulis oleh duta besar Australia untuk Indonesia, Penny Williams PSM:

"... Tujuan kami adalah bekerja secara aktif dengan Indonesia untuk membentuk masa depan Indo-Pasifik sebagai kawasan terbuka, stabil, inklusif dengan ASEAN sebagai pusatnya. ...AUKUS akan meningkatkan kapasitas kami untuk mengembangkan dan berbagi berbagai kemampuan keamanan dan pertahanan baru ..

Hal ini akan memperkuat kemampuan kami untuk bekerja dengan mitra regional utama guna menjaga stabilitas dan keamanan, dan sistem internasional berbasis aturan di mana kemakmuran kita bersama dibangun.. Perjanjian baru ini akan meningkatkan kemampuan kami berkontribusi di kawasan Indo-Pasifik yang damai dan sejahtera yang berpusat pada ASEAN...".

Bagaiman respons China? 

Tanggapan standar China tentu bisa ditebak. Sesuatu yang pasti bertolakbelakang dan memposisikan setiap narasi China secara diameteral berlawanan dengan barat khususnya terkait AS. 

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, mengatakan aliansi militer AUKUS 'sangat merusak perdamaian dan stabilitas regional, mengintensifkan perlombaan senjata, dan merusak Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir' (sumber). 

Meskipun kita tahu secara realitas China selalu kontradiktif dengan terus hadir dan bermanuver di Laut China Selatan maupun Selat Taiwan. 

Bagi Australia, tentu ancaman baru akan muncul. Setidaknya Australia akan diperlakukan sebagai sekutu AS dan tidak lagi negara non-nuklir. Perlakukan terhadap Australia oleh China maupun 'sekutu'nya Rusia bisa saja akan "sangat keras" dalam realisme politik regional.

Fenomena Multi Aliansi

Fenomena AUKUS bukan hal baru. Kepentingan ekstra regional sudah lama hadir dan mengejawantah dalam berbagai bentuk kerja sama di Asia Pasifik, seperti FPDA (Five Power Defence Arrangement) beranggotakan Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura atau Quad 2007 beranggota AS, Australia, India, Jepang.

Tentu hal ini dimungkinkan karena teater Asia Pasifik tidak seperti Eropa. Di Asia Pasifik tidak ada struktur pengaturan keamanan (security arrangement) yang jelas seperti kehadiran NATO di Eropa. 

Aliansi keamanan dibangun lebih kepada basis bilateral. Kompetisi rivalitas negara besar memunculkan kebutuhan baru akan aliansi yang lebih kuat -- meskipun dibangun dengan ramuan motif ekonomi, politik, keamanan, pengaruh bagi masing-masing anggotanya.

Munculnya jalinan aliansi multilateral yang berjejaring barangkali bisa menunjukkan bahwa masyarakat internasional sekarang memang tumbuh sebagai "network society". Bilateralisme tidak memadai. Satu jenis multilateralisme juga tidak mencukupi. Keterlibatan negara dalam beragam jaringan menunjukkan pencarian akan pemenuhan kebutuhan yang "pas". 

Mengapa Inggris sampai hadir di Asia Pasifik? 

Pemenuhan kebutuhan lapangan kerja di bidang pertahanan kah melalui AUKUS? Pemenuhan pasar ekonominya setelah Brexit? Demikian juga dengan negara-negara Eropa. 

Bagi UE misalnya sejumlah kebutuhan dipenuhi oleh China meskipun dalam beberapa hal lain mereka tetap berbeda prinsip; sementara sejumlah kebutuhan lain dipenuhi oleh negara-negara Asia Tenggara. Itulah yang menjelaskan mengapa UE juga terlibat dalam BRI (Belt and Road Initiative) tapi juga ASEAN atau ASEM.

Gradasi sikap aktor ekstra regional ketika hadir di Asia Pasifik juga beragam. Bagi Uni Eropa misalnya yang ditawarkan adalah kerja sama bukan konfrontasi. 

Seperti yang dinyatakan Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Piket, "... We are offering mutual engagement, very comprehensively covering all sectors of policy. We want to be a trusted partner; a partner that does not bring surprises to others and we are pursuing a long-term strategy..". (JP, 2 Oktober 2021, hal 2)

Perang Dingin Baru?

Jadi apakah AUKUS akan menciptakan perang dingin babak baru? Jawabannya tentu tidak hitam putih. Jika regionalisme baru yang berkembang dengan sifatnya yang inklusif, cair dan terbuka maka regionalisme lama tidak akan kondusif untuk perang dingin gaya lama. 

Sampai titik tertentu "ketegangan", "rivalitas senjata" tidak dapat dihindari, namun menyandarkan diri hanya pada faktor tersebut tidak cukup. 

Regionalisme Asia Pasifik lebih kompleks dari yang nampak. Jika perang dingin bisa "berakhir" di Asia Pasifik (1947-1991), maka kalaupun ada semacam munculnya fenomena perang dingin lagi tentu konteksnya berbeda. Multilateralisme sampai titik tertentu perlu 'dijamin' dengan perimbangan kekuatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun