Saya beruntung bisa menonton sekuel pertama Merah Putih ketika mendapat undangan press screening pada 3 Agustus 2009. Â Pada waktu itu bagi saya Merah Putih pengobatan kerinduan terhadap film yang berlatar belakang perang kemerdekaan. Pandangan pertama jatuh hati.
Sebelumnya film terkait peristiwa revolusi yang saya tonton adalah Naga Bonar beberapa dekade sebelumnya, tepatnya pada 1987. Film situasi komedi yang menjadikan Deddy Mizwar jadi ikonik ini juga meninggalkan kesan mendalam, bersetting perjuangan laskar Sumatera Utara menghadapi tentara Belanda. Â
Pertama, Merah Putih ini berbeda karena mengangkat isu pluralisme dalam laskar Indonesia yang benar-benar berupaya representasi se-Indonesia.
Jika Naga Bonar mengangkat kerja sama etnis Batak, Melayu, Jawa melawan Belanda sesuai dengan sejarah sosial daerah Sumatera Timur, jika Enam Jam di Djogja, Serangan Fajar dominan Jawa, maka Merah Putih tidak demikian.
Saya sebagai penonton berkenalan dengan Tomas (Donny Alamsyah) pemuda Minahasa yang Kristen, Dayan (Teuku Rinu Wikana) pemuda Bali beragama Hindu, Amir (Lukman Sardi) pemuda santri desa dari Jawa, Marius (Darius Sinathrya) pemuda kota yang arogan.
Lima sekawan ini bertemu ketika mengikuti latihan militer di sebuah barak di kawasan Semarang Jawa Tengah. Â Lalu ada tokoh Senja (Rahayu Saraswati) sebagai resprentasi para perempuannya. Settingnya pada 1947 sebelum Agresi Militer Belanda I.
Tidak mudah mempersatukan beragam manusia berlatar belakang budaya berbeda yang sudah terkotak akibat kolonialisme terungkap dalam dialog-dialog.
Thomas sempat dicurigai karena banyak orang Minahasa yang menjadi KNIL. Padahal Tomas menyaksikan orangtuanya dibantai tentara Belanda.
Dayan misalnya disindir, bahwa banyak bule di Bali. Tetapi dengan enteng dia menjawab: "Pulau kami adalah yang terakhir yang dijajah Belanda".
Bagi mereka yang mengikuti sejarah Indonesia mengetahui bahwa Bali baru dikuasai Belanda setelah perang puputan di bagian selatan pulau itu pada 1906-1908.