Mohon tunggu...
Sindy Riani P.N.
Sindy Riani P.N. Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer

Hukum, Ekonomi, Sosial, Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tak Jadi Upgrade Daya, Quo Vadis Polemik Oversupply PLN

22 September 2022   13:04 Diperbarui: 25 September 2022   07:15 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PLN. (Foto: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Pada rapat panitia kerja DPR mengenai asumsi dasar Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran 2023 Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengungkapkan bahwa saat ini oversupply listrik PLN telah mencapai 6 gigawatt (GW) dan akan bertambah menjadi 7,4 GW di 2023, bahkan pada 2030 diperkirakan akan mencapai 41 GW. 

Situasi ini akan semakin pelik jika nanti energi baru terbarukan (EBT) mulai masif direalisasikan, sehingga pada 2030 diperkirakan PLN akan mengalami oversupply sebesar 41 GW (kompas.com).

Jika ditarik secara historik, pangkal persoalan dari oversupply listrik yang dialami oleh PLN tidak lain adalah karena ambisi proyek listrik sebesar 35.000 megawatt (MW) milik pemerintah. 

Status quo tersebut rupanya telah menahun karena pemerintah Indonesia terus "memaksakan" ambisi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru di tengah stagnasi ekonomi. 

Akibatnya, sesuai dengan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, pembangkit baru pun terus dibangun (kompas.com). 

Belum lagi, fenomena oversupply ini diperparah dengan adanya klausul  "take or pay" pada kontrak yang dianut oleh PLN dalam kontrak pembelian listrik dengan produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP).

Menurut Deon dalam Podcast di Atas Meja oleh Indonesia Corruption Watch, klausul "take or pay" digunakan PLN akibat terjadinya krisis ekonomi pada 1998. Krisis ekonomi saat itu menimbulkan domino effect terhadap pasokan listrik yang menjadi langka. 

Pada masa itu, PLN mengalami kesulitan dalam membangun pembangkit listrik baru karena tak punya uang. Oleh karenanya, skema kontrak  dengan klausul"take or pay" kemudian digulirkan untuk menarik investor dan pembangkit independen agar mau membangun pembangkit guna menopang kebutuhan listrik PLN.

Melalui Permen ESDM No.10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Permen ESDM 10/2017) tepatnya pada Pasal 16 ayat (3), pemerintah mengatur bahwa PLN akan dikenakan penalti (take or pay) manakala PLN tidak dapat menyerap pasokan listrik dari IPP.

Pasal 16 ayat (3) Permen ESDM No.10 Tahun 2017:

"Dalam hal PLN tidak dapat menyerap tenaga listrik sesuai kontrak disebabkan kesalahan PLN maka diwajibkan membayar penalti kepada IPP selama periode tertentu."

Dengan klausul tersebut, artinya, mau dipakai atau tidak, listrik yang telah diproduksi oleh IPP tetap harus dibayar oleh PLN sesuai dengan kontrak di awal. Misalnya saja, jika PLN membuat kontrak dengan sebuah perusahaan IPP untuk membeli listrik sebesar 80 GW. 

Tetapi seiring berjalannya waktu, pasokan listrik yang dibutuhkan PLN hanya sebesar 70 GW, namun sebagaimana ketentuan dalam kontrak, PLN tetap harus membayar senilai dengan harga listrik 80 GW. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun