Mohon tunggu...
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Sosial, Politik, dan Militer

Eksponen Gerakan Mahasiswa Angkatan 1977-1978 dan Pengarah Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA). Menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menjadi Presidium Pejabat Ketua Dewan Mahasiswa ITB pada 1977. Selama berkuliah, aktif dalam gerakan mahasiswa serta ditahan dan diadili pada 1978. Dalam pengadilan, ia menuliskan pleidoi legendarisnya, berjudul Indonesia di Bawah Sepatu Lars. Pernah menjabat Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang IPTEK dan Lingkungan Hidup (2000). Sampai saat ini, Indro aktif dalam organisasi lingkungan hidup (SKEPHI) yang peduli dengan kelestarian hutan dan sumber daya air. Di samping itu, berminat dengan isu Hak Asasi Manusia, sosial, politik, dan militer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dibutuhkan People Power untuk Memakzulkan Presiden

14 April 2024   10:30 Diperbarui: 14 April 2024   10:31 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Massa aksi menuntut agar Presiden Jokowi ditumbangkan dan diadili di depan kantor KPU, Jakarta Pusat, (18/3/2024). (Kompas.com/XENA OLIVIA)

Saat ini sedang berlangsung sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024 yang diikuti oleh kubu pasangan calon (Paslon) 01 dan Paslon 03 sebagai pemohon. Tuntutan  yang diajukan ke MK oleh mereka adalah pemungutan suara ulang dan diskualifikasi terhadap Paslon 02, Prabowo-Gibran. Gugatan ke MK ini sebenarnya merupakan ranah dari partai politik (parpol) sebagai subjek formal (ber-legal standing) dalam Pemilu dan Pilpres.

Walaupun presiden bisa dijadikan saksi, gugatan yang diajukan ke MK oleh parpol ini tidak serta merta berujung pada pemakzulan presiden. Dugaan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam kecurangan yang menghasilkan gap angka perolehan justru diuji di MK. Walaupun ada indikasi bahwa apa yang dilakukan presiden terbukti melawan hukum, pemakzulan presiden sebenarnya berada di jalur lain.

Tuntutan Pemakzulan Hanya Layak oleh People Power

Jika bukti kecurangan pilpres yang saat ini diajukan ke MK akan dijadikan dalih pemakzulan presiden, hal itu terpulang kepada apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang ingin memakzulkan presiden. Keinginan DPR untuk memakzulkan presiden itu sangat samar-samar karena terhadap hak angket pun DPR terkesan ogah-ogahan. Padahal, apa yang dilakukan oleh presiden sebenarnya sudah memenuhi isi pasal 7 UUD tentang alasan pemakzulan.

Memang pemakzulan presiden di berbagai negara selalu membutuhkan people power untuk mendesak DPR agar bersedia memperhatikan kehendak rakyat. Merujuk pada Revolusi EDSA (Epifanio de los Santos Avenue, nama jalan di Manila) tahun 1986 saat menjatuhkan Ferdinand Marcos, untuk mendesak agar Parlemen/DPR mau menindaklanjuti aspirasi rakyat secara damai, dibutuhkan aksi dengan minimal dua juta massa selama empat hari. Menurut Eep Saefulloh, jika oposisi atau resistensi parlementer dan resistensi ekstra parlementar bersatu, niscaya upaya pemakzulan presiden Joko Widodo akan berhasil (Kanal YouTube Abraham Samad dan RMOL.id, 27/10/2023).


Sebagai catatan, selama ini sebenarnya Indonesia menganut demokrasi semi langsung. Hal ini karena di satu pihak melaksanakan demokrasi perwakilan, tetapi di lain pihak rakyat menjalankan demokrasi langsung dengan memilih presiden. Gerakan Rakyat (people power) merupakan bentuk demokrasi langsung (direct democracy) sebagai ganti tidak adanya referendum, inisiatif, dan penarikan kembali anggota legislatif terpilih (recall) di Indonesia. Rakyat juga merupakan pemberi mandat kepada presiden sebagai kepala negara sehingga berhak pula mencabut mandat melalui pemakzulan apabila presiden berkhianat.

Aneh Jika DPR Tidak Dukung Pemakzulan

Memang kata pemakzulan merupakan sesuatu yang dianggap berat dan luar biasa. Akan tetapi, hampir semua negara mencantumkan hal itu dalam konstitusinya. Ini berarti mereka sudah memprediksi adanya potensi pejabat tinggi atau kepala negara pada suatu saat akan melanggar konstitusi dan sumpahnya.

Lord Acton mengatakan, "power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely", artinya semua penguasa cenderung bertindak korup, apalagi penguasa yang zalim. Itulah mengapa kekuasaan kepala pemerintah dan kepala negara penting untuk diawasi dan dikendalikan oleh lembaga lain, yakni Parlemen atau DPR. Sejalan dengan itu, DPR juga memiliki hak untuk memakzulkan seorang presiden sebagai kepala pemerintahan atau negara.

Oleh karena itu, aneh sekali jika DPR sebagai lembaga legislatif diam saja saat ada persoalan menyangkut integritas presiden yang diduga melakukan pelanggaran konstitusi. Bahkan, para anggota DPR pun enggan menjalankan haknya untuk bertanya (hak angket) kepada presiden selaku kepala pemerintahan (lembaga eksekutif). Ini semua disebabkan oleh persoalan terkait korupsi oleh anggota DPR yang kerap menjadi alat sandera politik serta negosiasi atau kompromi politik terhadap pihak lain (Marzuki Alie, Parlementaria, 13/06/2013)

Konsep Pemakzulan Bukan Like and Dislike

Gerakan Reformasi 1998 adalah periode saat semua tata negara, tata pemerintahan, tata hukum, dan tata kelembagaan diluruskan sesuai Undang-undang Dasar 1945. Bahkan, undang-undang dasarnya pun sampai-sampai ikut direvisi sehingga kedudukan parlemen atau DPR terhadap lembaga negara lain dipulihkan dan ditata kembali. Oleh karena itu, saat Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dituduh mengusulkan "parlemen dibubarkan", ia segera dimakzulkan oleh MPR/DPR RI.

Kini, upaya lembaga eksekutif untuk mendeformasi parlemen atau DPR RI dengan cara menghancurkan basis legitimasinya melalui manipulasi hak dipilih dan memilih dalam Pemilu sedang disidangkan di MK. Dengan demikian, itu berarti secara tentatif DPR RI "sudah bubar" dengan sendirinya karena pembentukannya sudah tidak sejalan dengan konstitusi. Syamsurizal, Wakil Ketua Komisi II DPR RI saat meninjau persiapan Pemilu 2024 di Daerah Istimewa Yogyakarta menekankan, "Jika penuh kecurangan dan ketidakjujuran, maka roh legitimasi sebagai misi penyelengaraan Pemilu tersebut akan hilang" (Parlementaria, 22/11/2023).

Kebobrokan integritas presiden dalam menjalankan lembaga eksekutif di berbagai negara adalah mayoritas penyebab dimakzulkannya presiden berdasarkan tuduhan ketidakmampuan moral. Tuduhan ketidakmampuan moral dilakukan dalam sidang peradilan politik lembaga legislatif yang bersifat unik (sui generis), biasanya melalui suatu mosi. Hal ini menjadikan lembaga legislatif sebenarnya bisa memecat presiden tanpa alasan apa pun.

Dari Ketidakmampuan Moral sampai Pengkhianatan

Tuduhan ketidakmampuan moral (21,5 persen) pernah dialami oleh Presiden Peru, Pedro Pablo Kuczynski (2017 dan 2018), Martin Vizcarra (2020), dan Pedro Castillo (2022). Peru  merupakan negara yang sering melakukan pemakzulan presidennya. Bahkan, tuntutan pemakzulan bisa dilakukan lebih dari sekali sampai akhirnya pemakzulan itu berhasil.

Melanggar konstitusi dan undang-undang bisa menjadi alasan untuk memakzulkan presiden (18 persen). Presiden yang dimakzulkan dengan alasan ini antara lain Andrew Johnson, Presiden Amerika Serikat yang melanggar Undang-undang Masa Jabatan (1868). Selain itu, presiden lainnya adalah Presiden Rusia, Boris Yeltsin (1993), Presiden Korea Selatan, Roh Moo-Hyun (2004), Presiden Brazil, Dilma Rousseff (2016), dan Presiden Chile, Sebastian Pinera (2021).

Beberapa presiden dimakzulkan dengan alasan melakukan pengkhianatan (dua persen). Pengkhianatan yang diberi sanksi pemakzulan adalah "pengkhianatan tingkat tinggi". Dalam konteks Revolusi Inggris (Abad ke-17) dan Revolusi Prancis (Abad ke-18), yang dimaksud adalah pengkhianatan terhadap negara dan bangsa sebagai wujud kedaulatan rakyat. Presiden yang dimakzulkan karena pengkhianatan adalah Presiden Republik Ceko, Vaclav Klaus (2013), dan Viktor Yanukovych (2014).

Dari Penyalahgunaan Kekuasaan sampai Kudeta

Sebagian kecil pemakzulan juga dilakukan dengan alasan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power (dua persen). Pemakzulan dengan alasan ini dilayangkan kepada Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye (2016), dan Donald Trump (2019). Penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden dilakukan karena dalam kapasitas resmi melakukan perlawanan hukum atau korupsi.

Hal yang menarik dan sekaligus janggal adalah presiden yang dimakzulkan karena tuduhan kudeta (dua persen). Kudeta tersebut merupakan upaya preemptive dalam rangka mengokupasi kekuasaan presiden untuk mencegah agar presiden baru yang tidak diinginkan menduduki jabatan tersebut. Presiden Carlos Luz melakukan rekayasa kudeta (1955) untuk mencegah Juscelino Kubitschek menjabat.

Presiden Cafe Filho yang menjadi presiden pengganti sementara juga dimakzulkan (1955) karena ingin mengembalikan kekuasaan kepada Carlos Luz. Pada tahun yang sama, baik Carlos Luz maupun Cafe Filho dimakzulkan oleh Senat Federal. Hal semacam itu  juga dilakukan oleh Sukarno (1967) yang akhirnya dimakzulkan karena dituduh mendalangi kudeta Gerakan 30 September terhadap dirinya sendiri.

Pengkhianatan Kekuasaan dan Nepotisme

Pemakzulan bisa dilakukan karena presiden melakukan pengkhianatan (dua persen). Presiden Ceko, Vaclav Klaus dituduh melakukan pengkhianatan, tetapi tuduhan ini dibatalkan MK karena jabatannya telah berakhir. Selain itu, Presiden Ukraina, Viktor Yanukovych juga telah dituduh melakukan pengkhianatan (2014) dan lari meninggalkan negaranya.

Nepotisme juga bisa dijadikan alasan untuk memakzulkan seorang presiden (satu persen). Itulah yang dialami oleh Presiden Paraguay, Fernando Lugo (2012) saat menunjuk kerabatnya untuk duduk dalam jabatan resmi kenegaraan. Selain itu, Lugo juga sering memberi ancaman dan melakukan pengambilan tanah secara ilegal.

Nepotisme adalah tindakan pemberian keuntungan, hak istimewa, atau kedudukan kepada kerabat atau kawan dalam suatu pekerjaan atau bidang. Nepotisme telah dikecam sebagai kejahatan sejak sejarah kuno oleh beberapa filsuf, antara lain Aristoteles, Valluvar, dan Konfusius. Nepotisme di Indonesia dilarang oleh Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Tidak Kurang Alasan untuk Memakzulkan Presiden

Selain alasan-alasan tersebut, ada serangkaian alasan lain (51,5 persen) untuk memakzulkan seorang presiden. Hal itu antara lain sikap anti revolusioner (Presiden Iran, Abolhassan Banisadr tahun 1981); penggelapan (Presiden Venezuela, Carlos Andres Perez tahun 1993); sumpah palsu (Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton tahun 1998); korupsi (Presiden Filipina, Joseph Estrada tahun 2000); pembunuhan, penyiksaan, dan penculikan (Presiden Peru, Alberto Fujimori tahun 2000); mencoba membubarkan parlemen (Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid tahun 2001); membocorkan informasi rahasia (Presiden Lituania, Rolandas Paksas tahun 2004); menghasut pemberontakan (Presiden Amerika Serikat, Donald Trump tahun 2021), berpihak dalam pemilu (Presiden Albania, Ilir Meta tahun 2021).

Dari berbagai alasan pemakzulan di atas, alasan pemakzulan Presiden Joko Widodo bisa diusulkan dengan tuduhan (a) ketidakmampuan moral terkait pelanggaran etik, (b) melanggar konstitusi dan undang-undang berdasarkan pernyataannya bahwa presiden bisa cawe-cawe, (c) penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) karena kebijakan Bansos dan menaikkan gaji ASN untuk pemenangan kontestan tertentu dalam Pemilu, (d) nepotisme karena mencalonkan anaknya sebagai calon wakil presiden, dan (e) berpihak dalam pemilu.

Deklarasi Kampus Menggugat Awal Kebangkitan People Power?

Alasan-alasan pemakzulan presiden tersebut sejalan dengan isu etika dan moral, korupsi, kolusi, nepotisme, tidak menoleransi pelanggaran hukum, serta perlunya menjunjung tinggi amanah konstitusi yang tertuang dalam Deklarasi Kampus Menggugat yang dibacakan di Balairung Kampus UGM (CNN Indonesia 13/3/2024).

Dalam kesempatan tersebut, Guru Besar UGM, Wahyudi Kumorotomo menyatakan, "Pelanggaran etika bernegara oleh para elit mengancam kelangsungan berbangsa dan bernegara serta menjauhkan Indonesia sebagai negara hukum". Guru Besar UGM lainnya, Prof. Budi Setiadi Daryono berujar, "Politik dinasti tak boleh diberi ruang dalam sistem demokrasi". Kampus dan organisasi kemahasiswaan juga melakukan konsolidasi saat Rezim Militer Marcos berkuasa, seperti yang dilakukan sekretaris jenderal organisasi mahasiswa di Filipina, Leandro Alejandro yang akhirnya ditembak militer pada 1987.

Revolusi EDSA tahun 1986 oleh people power di Filipina dicatat dengan tinta emas dalam sejarah demokrasi dan menjadi bahan literasi bagi orang yang ingin melihat dahsyatnya kekuatan itu melawan kekuasaan militeristis. Kekuatan itu sangat dahsyat karena ada faktor martir atau martyrdom (Benigno Aquino), ada kontinuasi gerakan (perlawanan masif terus menerus), jumlah massa yang sangat besar (demo dua juta massa selama empat hari), ada trigger yang memuakkan (kecurangan pemilu saat Marcos terpilih kembali pada 20 Februari 1986), ada tokoh karismatik yang berani (Istri Benigno, Corazon Aquino), spektrum perlawanan yang luas dari kiri sampai kanan (New People's Army sampai Komunitas Cardinal Sin), dan ada pembelotan elit berkuasa (Menteri Pertahanan, Juan Ponce Enrile, dan Kepala Staf Kepolisian, Letjen Fidel V. Ramos). ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun