Takjub. Itu kata paling tepat yang bisa menggambarkan perasaan Tuanku. Segera setelah bertemu dengan Mrs. M, kendaraan hotel membawa kami ke hotel. Mrs. M tidak mengganggu  Tuanku yang tidak berhenti menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Bali begitu memesona.
      "Pantas saja begitu terkenal. Memang bener-bener indah... eksotik," guman Tuanku
      "Tepat. Eksotik," tanggap Mrs. M.
      Tuanku mengangguk. Bahkan pesawahan di kampung halamannya seperti tidak ada apa-apanya dengan pesawahan di Bali. Entah apa penyebabnya.
      "Saya suka bangunan berbata merah. Hampir di setiap tikungan. Anggun.," komentar Tuannya.
      "Kamu benar. Bangunan seperti itulah yang sering kita temukan di sini. Berbeda dengan di Bandung. Kamu temukan banyak masjid kecil," ujar Mrs. M.
      "Ya... ya.." jawab Tuanku serasa diingatkan.
      Mobilpun tiba di Sheraton Nusa Dua. Rombongan lengkap dengan kedatangan Tuanku. MK dan pengasuhnya sedang di kolam renang ketika Tuanku datang bergabung.
     Â
      "Andai saja Tuan tidak sedang bekerja, ya." Kembaranku berbicara.
      "Maksudmu?" tanyaku.
      "Kita bisa leluasa menjelajah Bali. Kalau sekarang kan tergantung majikan mau kemana, pengen apa," jelas kembaranku.
      "Segini saja sudah sangat beruntung. Belum tentu kalau kita di sini sekarang kalau Tuan tidak bekerja. Lha untuk bepergian saja Tuanku lebih mengandalkan kita dibandingkan naik angkutan. Kenapa coba alasannya kalau bukan untuk menghemat."
      "Iya juga sih," tukas kembaranku.
      Cipratan ombak menyeka kami yang sedang menyusuri pantai di sekitar hotel. MK sedang tidur sehingga Tuanku memberi tahu H bahwa ia ingin jalan-jalan di pantai. Mendekati pohon kelapa, ia berhenti dan duduk selonjor. Bayangan pohon kelapa menjadi peneduh di tengah suasana sore yang cukup menyengat. Pasir halus menggesek kulitku dan kembaranku. Tuanku meraup pasir, meremas dan membiarkan pasir menyelinap sela-sela jari. Aku tahu ia sedang mengenang kembali perjalanan wisata sehari sebelumnya. Beberapa tempat yang dikunjungi ia gumamkan, "Tanah lot, Ubud, tari kecak."
      Ah, Tuanku, engkau selalu menghitung dan mensyukuri kejadian-kejadian dalam hidupmu, rahmat yang engkau dapatkan. Siapa menyangka engkau ada di tempat ini.
      "Kok Tuanku terlihat sedih, ya?"
      "Kupikir bukan sedih, tapi terharu. Siapa yang tidak terharu coba. Sekalipun kamu bilang ke Bali karena pekerjaan, sensasinya kan tetap beda."
      "Iya, aku ingat kemarin malam saat menonton tari kecak. Kayaknya Tuan kita seperti tersihir ya."
      "Bagaimana tidak tersihir, dulu dia kan pernah belajar nari," ujarku.
      "Sebentar, kapan ya.. o ya.. ya.. ingat yang di di stasiun radio itu ya."
      "Iya, hanya tidak lanjut. Keburu kuliah kalau tidak salah."
      "Pantas saja dia senang kesenian."
      "Kalau itu sih jangan ditanya. Oya, ingat sewaktu kita kemarin ke hotel?"
      "Maksudmu hotel yang di tengah sawah itu?"
      "Iya, apa namanya? Keren banget tuh. Pemandangan spektakuler sampai aku bisa merasakan Tuan kita merasa lalewang."
      "The Chedi. Di Ubud. Kok lalewang?"
      "Ya kan pemandangannya pesawahan, bukit, gunung, pepohonan. Kayaknya dia teringat kampung halamannya."
      "Bisa juga. Tapi memang apa yang kurang dari Bali, ya. Dari pesisir pantai sampai ke pegunungan. Wuiiih.. kayaknya aku bakalan betah tinggal di sini."
      "Sekarang ngomong gitu. Kalau sudah ngalamin belum tentu juga," kataku
      "Oya, besok kita sudah check out, ya."
      "Masa sih?"
      "Iya, kan kita mau terbang lagi."
      "Pulang?" tanyaku.
      "Kok pulang? Kamu tidak nyimak, ya. Kita mau ke Lombok, pulau di seberang Bali. Entah ada apa di sana."
      "Begitu? Wah, asek ya, bakalan ke tempat baru lagi," ujarku
     Â
      Dan begitu ceritanya. Aku berkesempatan mengunjungi pulau eksotis. 1997, tahun kami mengunjungi pulau ini, hanya bule dan bule yang kami lihat berwisata di tempat ini. Kami tinggal di Sheraton Senggigi Beach hotel. Pantai berpasir putih yang terhampar di latar belakang hotel steril dari wisatawan lokal. Aku menghitung orang-orang di pantai sekitar hotel yang berwarna sawo matang. Hanya Tuanku, H dan MK. Ada mereka yang warna kulitnya sama, tapi mereka adalah pekerja hotel ini. Ironis. Tempat wisata menawan ini lebih banyak dikunjungi wisatawan asing.
      Di Lombok ini pula rombongan berperahu menuju kepulauan Gili. Pasir putih pulau ini menyilaukan mata. Kembali, kami bertemu wisatawan dari Amerika di perahu boat. Di tempat ini berbalut sepatu, aku pertama kalinya menjejakkan kaki di atas karang-karang. Tuanku menikmati pemandangan bawah laut dengan snorkel. Aku terkesima dengan  ikan warna-warni yang berenang bebas di sela-sela karang. Sayangnya, aku dan kembaranku tidak berani bergerak lebih jauh. Pada titik ini, aku tahu Tuanku menyesal tidak bisa berenang. Ia berharap seperti H dan Mr. W yang berenang menjauhi daratan untuk menikmati pemandangan dasar laut. Pengalaman ini pula yang mendorong Tuanku pada satu resolusi: kudu bisa berenang. Titik. Tanpa koma.
      Bali, Lombok, nirwana yang tak mudah untuk bersua. Seiring jejak-jejakku dan kembaranku di pantai Nusa Dua dan Senggigi, aku berujar pada semesta bahwa kelak aku akan kembali. (Cimahi, 8 Juni 2021)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI