"Kita bisa leluasa menjelajah Bali. Kalau sekarang kan tergantung majikan mau kemana, pengen apa," jelas kembaranku.
      "Segini saja sudah sangat beruntung. Belum tentu kalau kita di sini sekarang kalau Tuan tidak bekerja. Lha untuk bepergian saja Tuanku lebih mengandalkan kita dibandingkan naik angkutan. Kenapa coba alasannya kalau bukan untuk menghemat."
      "Iya juga sih," tukas kembaranku.
      Cipratan ombak menyeka kami yang sedang menyusuri pantai di sekitar hotel. MK sedang tidur sehingga Tuanku memberi tahu H bahwa ia ingin jalan-jalan di pantai. Mendekati pohon kelapa, ia berhenti dan duduk selonjor. Bayangan pohon kelapa menjadi peneduh di tengah suasana sore yang cukup menyengat. Pasir halus menggesek kulitku dan kembaranku. Tuanku meraup pasir, meremas dan membiarkan pasir menyelinap sela-sela jari. Aku tahu ia sedang mengenang kembali perjalanan wisata sehari sebelumnya. Beberapa tempat yang dikunjungi ia gumamkan, "Tanah lot, Ubud, tari kecak."
      Ah, Tuanku, engkau selalu menghitung dan mensyukuri kejadian-kejadian dalam hidupmu, rahmat yang engkau dapatkan. Siapa menyangka engkau ada di tempat ini.
      "Kok Tuanku terlihat sedih, ya?"
      "Kupikir bukan sedih, tapi terharu. Siapa yang tidak terharu coba. Sekalipun kamu bilang ke Bali karena pekerjaan, sensasinya kan tetap beda."
      "Iya, aku ingat kemarin malam saat menonton tari kecak. Kayaknya Tuan kita seperti tersihir ya."
      "Bagaimana tidak tersihir, dulu dia kan pernah belajar nari," ujarku.
      "Sebentar, kapan ya.. o ya.. ya.. ingat yang di di stasiun radio itu ya."
      "Iya, hanya tidak lanjut. Keburu kuliah kalau tidak salah."