"Pulang?" tanyaku.
      "Kok pulang? Kamu tidak nyimak, ya. Kita mau ke Lombok, pulau di seberang Bali. Entah ada apa di sana."
      "Begitu? Wah, asek ya, bakalan ke tempat baru lagi," ujarku
     Â
      Dan begitu ceritanya. Aku berkesempatan mengunjungi pulau eksotis. 1997, tahun kami mengunjungi pulau ini, hanya bule dan bule yang kami lihat berwisata di tempat ini. Kami tinggal di Sheraton Senggigi Beach hotel. Pantai berpasir putih yang terhampar di latar belakang hotel steril dari wisatawan lokal. Aku menghitung orang-orang di pantai sekitar hotel yang berwarna sawo matang. Hanya Tuanku, H dan MK. Ada mereka yang warna kulitnya sama, tapi mereka adalah pekerja hotel ini. Ironis. Tempat wisata menawan ini lebih banyak dikunjungi wisatawan asing.
      Di Lombok ini pula rombongan berperahu menuju kepulauan Gili. Pasir putih pulau ini menyilaukan mata. Kembali, kami bertemu wisatawan dari Amerika di perahu boat. Di tempat ini berbalut sepatu, aku pertama kalinya menjejakkan kaki di atas karang-karang. Tuanku menikmati pemandangan bawah laut dengan snorkel. Aku terkesima dengan  ikan warna-warni yang berenang bebas di sela-sela karang. Sayangnya, aku dan kembaranku tidak berani bergerak lebih jauh. Pada titik ini, aku tahu Tuanku menyesal tidak bisa berenang. Ia berharap seperti H dan Mr. W yang berenang menjauhi daratan untuk menikmati pemandangan dasar laut. Pengalaman ini pula yang mendorong Tuanku pada satu resolusi: kudu bisa berenang. Titik. Tanpa koma.
      Bali, Lombok, nirwana yang tak mudah untuk bersua. Seiring jejak-jejakku dan kembaranku di pantai Nusa Dua dan Senggigi, aku berujar pada semesta bahwa kelak aku akan kembali. (Cimahi, 8 Juni 2021)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI