"Hanya Eko?" kejarku. Rino kembali memandangku sekilas. Sepertinya ia sedang berpikir.
      "Bagaimana dengan teman sekelasmu dan Bu Wanti, wali kelasmu?" kataku. Rino menatapku lantas mengangguk.
      "Kalau memang kamu sadar bersalah, apa yang semestinya kamu lakukan?" tanyaku lagi.
      Rino tidak langsung menjawab. Aku menangkap keengganan di matanya.
     "Berubah" jawabnya pelan sambil mengalihkan pandangan.
     "Ya, berubah. Pastinya perubahan itu diperlukan. Tapi, kepada orang-orang itu, apa yang semestinya kamu lakukan?" Tanyaku lagi
     "Meminta maaf," gumamnya.
     "Sudah kamu lakukan?" tanyaku. Rino menggeleng. "Ke Eko sudah di depan Bu Wanti." Aku menangkap nada keterpaksaan
      "Rino, lihat Bapak," pintaku. Tatapanku dan Eko bertemu.
      "Meminta maaf akan jadi pintu masuk kamu untuk kembali berhubungan baik dengan Eko, teman-temanmu di kelas, Bu Wanti." Aku mengambil jeda, berharap Eko mencerna kata-kataku.
      "Dan kamu akan jauh merasa lebih tenang. Akan lebih mudah bagi kamu untuk berubah. Dan mudah bagi mereka membantumu berubah," terangku. Telingaku semestinya tidak salah dengar. Mengharapkan dan membayangkan Rino meminta maaf dan berbaikan dengan teman-temannya menggetarkan suaraku.