Pak Fadli Zon, dalam ilmu kebijakan publik, legitimasi hukum sangat penting. Jika hari kebudayaan nasional ditentukan hanya berdasarkan tanggal ditandatanganinya Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951, yang dalam pasal-pasalnya juga tidak mengatur tentang Hari Kebudayaan Nasional 17 Oktober, maka dasar hukumnya menjadi lemah. Selain itu, hal ini dapat menjadi preseden buruk di kemudian hari, karena bisa saja diusulkan “Hari Nasional” lain hanya karena bertepatan dengan hari ulang tahun seorang pejabat atau Presiden.
Sebagai warga negara yang mencintai budaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai netralitas kebijakan publik, saya memandang perlu agar kebijakan Bapak terkait penetapan Hari Kebudayaan Nasional memiliki dasar hukum, landasan historis, dan naskah akademis yang kuat agar tidak memicu polemik di kemudian hari.
Berdasarkan hal ini, saya mengusulkan beberapa rekomendasi berikut:
1. Meninjau kembali penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional dengan membuka dialog publik, diskusi akademis, dan mendengarkan masukan dari para sejarawan, budayawan, akademisi, masyarakat adat, dan masyarakat sipil.
2. Mempertimbangkan tanggal-tanggal alternatif yang memiliki kaitan langsung dengan peristiwa-peristiwa kebudayaan yang monumental, seperti Kongres Kebudayaan Indonesia, Sumpah Pemuda, atau pengakuan warisan budaya oleh UNESCO.
3. Mendorong terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) atau Undang-Undang yang secara eksplisit menetapkan Hari Kebudayaan Nasional sebagai hari nasional, tidak hanya berdasarkan tafsir simbolik atas Peraturan Pemerintah yang memiliki fungsi yang berbeda.
4. Memastikan peringatan Hari Kebudayaan Nasional tidak berhenti pada seremoni, tetapi diikuti dengan kebijakan konkret yaitu pemberian insentif dan bantuan kepada para seniman, revitalisasi kebudayaan daerah, perlindungan situs-situs budaya, pembentukan atau pendirian perpustakaan budaya digital nasional, dan penguatan diplomasi budaya Indonesia ke kancah internasional.
Sebagai penutup, saya percaya bahwa niat baik Bapak Menteri dan Pemerintah untuk memperkuat kebudayaan akan semakin kuat jika didukung oleh landasan hukum yang sahih, penelitian sejarah yang mendalam, dan narasi kebudayaan yang menegaskan jati diri bangsa, terbebas dari persepsi kepentingan politik jangka pendek.
Surat terbuka ini saya sampaikan sebagai bentuk partisipasi warga negara dalam ruang demokrasi. Saya berharap Bapak Menteri membuka ruang diskusi terbuka dengan berbagai pemangku kepentingan kebudayaan, agar Hari Kebudayaan Nasional benar-benar lahir sebagai simbol pemersatu bangsa Indonesia.
Medan, Selasa, 15 Juli 2025
Hormat saya,