Mohon tunggu...
Seno Rocky Pusop
Seno Rocky Pusop Mohon Tunggu... Penulis - @rockyjr.official17

सेनो आर पूसॉप जूनियर

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rasisme Itu Sebuah Pelangi yang Indah

24 Februari 2024   13:27 Diperbarui: 24 Februari 2024   15:27 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar. Ilustrasi melukis Pelangi (Raffa Channel/YouTube)

Aku pernah menulis status seperti ini: "Only white people who hates black people. Does God hate us too?" Melihat mereka memperlakukan kita, adilkah dihadapan Tuhan? Begitu banyak pertanyaan terlintas di kepala kecilku.

Hingga merebaknya rasisme pada tahun 2019 di Surabaya, ujaran kebencian dan rasisme yang tidak berakhlak menggunakan kata "Monyet", "Anjing", "Babi" dan "Binatang" ditujukan kepada orang Papua. Aku pikir buah bibir ini merupakan pukulan telak bagi komunitas kulit hitam di seantero dunia.

Selain itu masih banyak lagi yang lebih menyedihkan dan terjadi secara terstruktur dan masif. Perlakuan rasisme terhadap orang Papua merupakan ideologi yang terselubung dalam pola pikir masyarakat Indonesia.

Indikasi tersebut muncul dalam kehidupan masyarakat, yang terlintas di benak mereka adalah aura negatif sebagai manusia kelas dua atau bahkan binatang. Rasisme ini dimanifestasikan dalam ideologi pembangunan yang tidak manusiawi.

Integrasi dan rasisme di Indonesia sangat relevan. Ini juga merupakan sejarah komplikasi sebagai konsep yang relatif kurang dipelajari. Tanpa hal ini, kita tidak akan bisa memahami bagaimana Indonesia merekayasa dehumanisasi suatu bangsa yang paling komprehensif dan bertahan lama dalam sejarah. Ini adalah narasi yang tidak jelas, yang menjadi dasar gagasan tentang apa yang sekarang kita sebut "rasisme".

Logika sejarah rasisme terhadap orang Papua tampak sangat jelas di tengah upaya menjaga nasionalisme Indonesia, rasisme masih tetap dipertahankan dan diskriminasi tidak sejalan dengan ideologi Pancasila.

Meningkatnya rasisme dan munculnya diskriminasi baru turut melahirkan ideologi baru yaitu intoleransi. Tentu saja hal ini tidak mengejutkan bagi mereka yang selama ini tidak pernah memahami permalasahan orang Papua dan penderitaan yang mereka alami.

Polaritas yang dipicu oleh kebencian dan antagonisme rasial semakin menambah daftar kegagalan negara mengelola keberagaman bangsa. Kuatnya dikotomi mayoritas-minoritas, inferior-superior, menjadi landasan kehidupan bermasyarakat.

Atribut ras, suku, agama, dan orientasi sensual yang dianggap identitas dimanipulasi sebagai pemicu konflik yang melemahkan kohesi masyarakat. Pelafalan rasisme ibarat topeng yang menyembunyikan makna sesungguhnya dari hubungan ekonomi, politik dan sosial. Perbedaan fisik dan prasangka negatif cenderung dieksploitasi untuk menjaga segregasi antar etnis.

Diskriminasi juga menyadarkan masyarkat Indonesia terhadap apa yang terjadi di Papua dalam konteks rasisme. Isu ras secara historis telah diabaikan dalam emergensi saat ini. Di biarkan bak pelangi yang terbentuk di cakrawala.

Harus diakui bahwa upaya menghilangkan rasisme tidaklah mudah, karena mengalami proses transformasi, dari posisi yang marginal, divergen dan menjadi alat dan strategi perjuangan untuk memperoleh kebebasan dan orang Papua tidak lagi merasa menjadi korban yang pasif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun