Mohon tunggu...
Seno Rocky Pusop
Seno Rocky Pusop Mohon Tunggu... Penulis - @rockyjr.official17

सेनो आर पूसॉप जूनियर

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rasisme Itu Sebuah Pelangi yang Indah

24 Februari 2024   13:27 Diperbarui: 24 Februari 2024   15:27 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar. Ilustrasi melukis Pelangi (Raffa Channel/YouTube)

Antagonisme paling banyak di dunia disebabkan oleh warna kulit, rasisme menjadi manifestasi yang paling visibel. Ini dalil aku untuk menyebutnya pelangi yang sangat indah. Namun aku tidak pernah menemukan keindahan dalam setiap perbedaan.

Dalam dekapan alam, aku selalu terpesona dengan keindahan yang memukau dari pelangi yang sedang terbentuk. Setiap kelopak yang terbuka menampakkan warisan warna, pemandangan yang dilihat, mulai dari awal mula hingga rasisme membentuk puncak keindahannya.

Dunia ini terlalu berantakan, ada orang yang selalu merasa bahagia, bahkan tak ingin mati di hari yang buruk, tak jarang hal buruk malah dianggap sebagai hal yang indah. 

Dengan iluminasi dan refleksi yang mendalam, hendaknya kita menyadari bahwa, setiap warna, dengan segala keagungan dan keindahannya, memiliki perbedaan-perbedaaan yang inheren penting bagi eksistensinya. Ini menunjukkan kepada kita dualitas kehidupan, tentang keindahan dan perbedaan yang dipadukan dalam satu bingkai.

Ada juga yang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang membuat pelik melihat keindahan dalam perbedaan. Aku bukan seorang yang introvert untuk justifikasi realitas. Aku seorang ekstrovert, cenderung senang bergaul dan berinteraksi dengan banyak orang, terbuka dan aktif dalam situasi sosial. 

Namun dalam komplikasi perbedaan, aku sangat risau, semua orang yang sama seperti aku pasti juga merasakan hal serupa. Ketika mereka melihat keindahan yang unik adalah cara terbaik untuk menggeneralisasi entitas tersebut. Aku yakin, meski tidak semua orang beranggapan seperti itu.

Ketika aku mulai memahami antagonisme, aku terobsesi dan insecure dengan keindahan dan perbedaan. Tentu saja hal ini menyangkut masalah warna kulit. Tidak ada bedanya, hingga saat ini dipandang sebagai pelangi dan merupakan fenomena manusia yang terjadi di alam semesta.

Ada sisi lain dari kehidpan yang pengen aku lihat dari pelangi, mungkin hanya sekedar lelucon padahal kenyataannya masih banyak yang dilebih-lebihkan.

Aku sering menonton film-film Hollywood yang menampilkan kisah nyata tentang orang kulit hitam di Amerika dan Eropa, mereka diperlakukan dengan kejam, menjadi budak orang kulit putih. Pada tahun 60-70an, isu rasisme masih kental. Meski tidak sebaik sekarang, namun sangat sulit untuk berekspresi dan berkreasi.

Tidak perlu jauh-jauh hanya untuk duduk, ngopi dan ngobrol saja, jaraknya bak langit dan bumi. Ketika aku menonton kisah-kisah ini, aku tak kuasa menahan tangis. Bukan karena apa pun, tapi aku juga merasakannya di lingkungan tempat tinggalku.

Aku pernah menulis status seperti ini: "Only white people who hates black people. Does God hate us too?" Melihat mereka memperlakukan kita, adilkah dihadapan Tuhan? Begitu banyak pertanyaan terlintas di kepala kecilku.

Hingga merebaknya rasisme pada tahun 2019 di Surabaya, ujaran kebencian dan rasisme yang tidak berakhlak menggunakan kata "Monyet", "Anjing", "Babi" dan "Binatang" ditujukan kepada orang Papua. Aku pikir buah bibir ini merupakan pukulan telak bagi komunitas kulit hitam di seantero dunia.

Selain itu masih banyak lagi yang lebih menyedihkan dan terjadi secara terstruktur dan masif. Perlakuan rasisme terhadap orang Papua merupakan ideologi yang terselubung dalam pola pikir masyarakat Indonesia.

Indikasi tersebut muncul dalam kehidupan masyarakat, yang terlintas di benak mereka adalah aura negatif sebagai manusia kelas dua atau bahkan binatang. Rasisme ini dimanifestasikan dalam ideologi pembangunan yang tidak manusiawi.

Integrasi dan rasisme di Indonesia sangat relevan. Ini juga merupakan sejarah komplikasi sebagai konsep yang relatif kurang dipelajari. Tanpa hal ini, kita tidak akan bisa memahami bagaimana Indonesia merekayasa dehumanisasi suatu bangsa yang paling komprehensif dan bertahan lama dalam sejarah. Ini adalah narasi yang tidak jelas, yang menjadi dasar gagasan tentang apa yang sekarang kita sebut "rasisme".

Logika sejarah rasisme terhadap orang Papua tampak sangat jelas di tengah upaya menjaga nasionalisme Indonesia, rasisme masih tetap dipertahankan dan diskriminasi tidak sejalan dengan ideologi Pancasila.

Meningkatnya rasisme dan munculnya diskriminasi baru turut melahirkan ideologi baru yaitu intoleransi. Tentu saja hal ini tidak mengejutkan bagi mereka yang selama ini tidak pernah memahami permalasahan orang Papua dan penderitaan yang mereka alami.

Polaritas yang dipicu oleh kebencian dan antagonisme rasial semakin menambah daftar kegagalan negara mengelola keberagaman bangsa. Kuatnya dikotomi mayoritas-minoritas, inferior-superior, menjadi landasan kehidupan bermasyarakat.

Atribut ras, suku, agama, dan orientasi sensual yang dianggap identitas dimanipulasi sebagai pemicu konflik yang melemahkan kohesi masyarakat. Pelafalan rasisme ibarat topeng yang menyembunyikan makna sesungguhnya dari hubungan ekonomi, politik dan sosial. Perbedaan fisik dan prasangka negatif cenderung dieksploitasi untuk menjaga segregasi antar etnis.

Diskriminasi juga menyadarkan masyarkat Indonesia terhadap apa yang terjadi di Papua dalam konteks rasisme. Isu ras secara historis telah diabaikan dalam emergensi saat ini. Di biarkan bak pelangi yang terbentuk di cakrawala.

Harus diakui bahwa upaya menghilangkan rasisme tidaklah mudah, karena mengalami proses transformasi, dari posisi yang marginal, divergen dan menjadi alat dan strategi perjuangan untuk memperoleh kebebasan dan orang Papua tidak lagi merasa menjadi korban yang pasif.

Sebagai warga dunia yang bermartabat, setiap orang pasti akan menolak aksi rasialis dan mengutuknya. Hanya orang-orang picik dan tidak memiliki harga dirilah yang akan membenarkan tindakan rasialis itu dengan berbagai jargon. 

Pernyataan rasisnya merupakan bagian dari sejarah panjang stigmatisasi orang Papua sebagai pemalas, pemabuk, bodoh atau kotor. Merendahkan kemampuan orang Papua dengan klaim yang mengarah pada gagasan rasisme teknokratis.

Kapanpun dan apapun yang tejadi, tentu saja gelap dan terang tidak akan bisa bersatu, perbedaan warna kulit mencipatakan ketidakharmonisan. Banyaknya warna pelangi yang terbentuk di cakrawala, menunjukkan ribuan wajah rasisme masih mengitari muka bumi, bukan sekedar tindakan diskriminasi yang masif. Dalam berbagai bentuknya, rasisme merupakan keyakinan struktural dan sistemik yang menganggap bahwa orang Papua lebih rendah derajatnya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menolak tindakan rasialis sebagai bentuk komitmennya terhadap kesetaraan martabat manusia, melalui konvensi internasional tentang "Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial" pada tanggal 4 Januari 1969.

Bahwa setiap manusia memiliki martabat dan nilai yang setara. Hak untuk hidup sebagai manusia tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Namun sangat kontras bila martabat manusia disamakan dengan binatang.

Tentu saja pelangi akan menjadi penegasan terhadap rasisme yang selalu dipertahankan. Rasisme adalah pelangi yang tampil dalam banyak wajah. Rasisme muncul karena masyarakat Indonesia menelan narasi besar yang mereka ciptakan sendiri dan menutup telinga terhadap suara orang Papua serta menyebut kisah orang Papua sebagai agitasi. Rasisme hadir dalam sikap masyarkat Indonesia terhadap orang Papua yang seringkali dilandasi oleh belas kasihan ketimbang solidaritas.

Sosiolog Inggris Gail Lewis mengatakan bahwa rasialisasi mengacu pada gagasan lama tentang ras sebagai karakteristik biologis dan gagasan baru tentang budaya sebagai penanda perbedaan. Bukan fakta biologis bahwa semua ras manusia berhubungan secara genetik, tetapi gagasan tentang ras bertahan dalam imajinasi sosial. Selama orang meyakini bahwa budaya, etnis atau warna kulit menentukan kemampuan, perilaku, motivasi, cara berfikir atau gaya hidup, maka rasisme akan terus ada.

Oleh karena itu, ketika orang Papua dihujat dengan ujaran rasis, mungkin itulah momen paling kelam dalam sejarah kehidupan orang Papua. Pelangi tentu saja menjadi patron untuk mengenang masa-masa kelam yang penuh stigma dan diskriminasi. Binatang mungkin adalah sahabat terbaik yang tidak bisa jauh dari mereka. Kisah ini begitu membekas di benak dan sanubari.

Penilaian yang keliru berdampak pada proses subordinasi, stereotip, dominasi dan marginalisasi, akibat memiliki perilaku atau kebiasaan yang dinilai menyimpang. Ironisme dan rasisme yang tumbuh subur akibat prasangka negatif cenderung menjadi hal yang diyakini secara mutlak tanpa pembuktian.

Saat kita menjelajahi kontemplasi ini lebih dalam, kita harus menyadari betapa pentingnya kesempurnaan dan penerimaan sepenuh hati dalam hubungan kita dengan orang lain. Bagaikan mentari yang menyinari tanpa diskriminasi, kita dipanggil untuk menerima dan mencintai tanpa syarat.

Pada akhirnya kita semua adalah pelangi di cakrawala, perpaduan warna dari perbedaan yang terbentuk. Setiap perbedaan merupakan sebuah bab dan kisah hidup yang menambah kedalaman dan kompleksitas narasi kehidupan kita.

Penting untuk menghindari diskriminasi rasial, stigmatisasi dan generalisasi stereotipikal. Biarlah rasisme menjadi pelangi yang indah sampai kesudahan zaman. Jika manusia ingin melihat hal-hal positif di sekitar kita, harus mengedepankan kesadaran akan perbedaan individu. Karena setiap orang menganut nilai-nilai yang sama, kita semua berhak memiliki hak untuk dihormati dan diperlakukan secara adil tanpa memandang perbedaan ras.

Tidak ada orang yang terlahir membenci orang lain karena warna kulitnya, atau latar belakangnya, atau agamanya. Orang harus belajar membenci, jika bisa belajar membenci maka akan diajarkan untuk mencintai.

Bagaikan pelangi sehabis hujan, kita berupaya untuk menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan. Dengan menerima perbedaan dalam diri kita dan orang lain untuk membagun tangga pemahaman dan empati demi menghubungkan jiwa kita satu sama lain.

Ibarat pelangi, setiap orang dengan warna kulitnya masing-masing menyimpan esensinya masing-masing. Sebuah esensi yang dikelilingi oleh berbagai lapisan keindahan, perasaan dan emosi. Dalam kombinasi warna, kita menemukan apa yang oleh masyarakat ilmiah disebut "antagonisme" atau "perbedaan". Kelainan yang tampaknya tidak sempurna berperan melengkapi pelangi. Peran perbedaan dalam narasi kehidupan menjadikan manusia rentan, otentik dan unik.

Dunia adalah cermin realitas dari batin kita, perbedaan ras merupakan bagian dari diri kita yang belum kita peluk sebaik mungkin, dan memerlukan cahaya kesadaran dan penerimaan untuk mengubahnya menjadi kekuatan dan persatuan. Dengan menerima, mengakui dan mencintai satu sama lain, kita dapat mengubah perbedaan menjadi kekuatan yang meyatukan.

Perbedaan ras dalam diri kita sebagai ciptaan Tuhan yang mulia harus dipahami sebagai hakikat realitas. Apapun yang melekat pada diri kita, termasuk warna kulit setiap orang, adalah karya seni yang berjalan berdampingan secara harmonis. Seperti pelangi yang terbentuk sempurna di atas cakrawala, kita semua muncul dalam keindahan, perbedaan, dan segala sesuatunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun