Pastoral artinya penggembalaan. Kata itu berasal dari kata pendeta (kata benda) yang berarti gembala. Tujuan pelayanan pastoral adalah membentuk dan mendampingi umat dalam mengamalkan imannya. Care dalam bahasa Inggris mempunyai arti yang kaya, tidak sekedar merawat, tetapi juga memusatkan perhatian, mengasuh, merawat, dan membantu pasien mengembangkan dan mewujudkan dirinya agar dapat mandiri.
Pendampingan pelayanan pastoral adalah tindakan manusia mendampingi orang lain karena kesadaran akan kasih Kristus yang mereka alami dalam hidup mereka. Pelayanan pastoral adalah tindakan sadar yang melampaui kecenderungan alami kita sebagai manusia. Dikatakan bahwa pendampingan pastoral adalah suatu proses perjumpaan timbal balik antara pihak pastoral, pendeta dan pasien (mutual perjumpaan proses), Pelayanan pastoral ini didedikasikan untuk mendampingi dan mendampingi pasien selama dirawat di rumah sakit.
Pendampingan pelayanan pastoral adalah tindakan manusia mendampingi orang lain karena kesadaran akan kasih Kristus yang mereka alami dalam hidup mereka. Pelayanan pastoral adalah tindakan sadar yang melampaui kecenderungan alami kita sebagai manusia. Dikatakan bahwa pendampingan pastoral adalah suatu proses perjumpaan timbal balik antara pihak pastoral, pendeta dan pasien (mutual perjumpaan proses). Pelayanan pastoral ini didedikasikan untuk mendampingi dan mendampingi pasien selama dirawat di rumah sakit. Pelayanan, suatu kata yang tidak bisa lepas dari perjalanan hidup sebagai seorang calon katekis karena pelayanan menjadi makanan sehari-hari bagi seorang pewarta. Meskipun seringkali istilah pelayanan dikaitkan dengan suatu kewajiban bagi sebagian orang dengan tanggung jawab tertentu seperti katekis, Namun jika ditilik lebih dalam, pengabdian merupakan suatu bentuk kegiatan yang positif, disertai dengan keikhlasan, yang sebenarnya sering kita jumpai dan dapat kita terapkan sepanjang hidup kita, terlepas dari apakah kita mempunyai kedudukan dalam suatu organisasi dan jabatan, dalam hal ini aspek kemanusiaan harus ditonjolkan dan ditumbuhkan untuk mengasihi semua makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, kita bisa menjadi pewarta yang “melayani” dalam kehidupan kita. Dalam berpastiral care ada 10 aspek pokok dalam penerapannya yakni : empati, mendengarkan, komunikasi, pengetahuan teologis, kesabaran, kerahasiaan, membangun hubungan yang baik, kesehatan mental,peka budaya dan resolusi konflik. Tujuan dari pelayanan pastoral sendiri adalah untuk mendampingi pasien dan keluarganya dalam proses penyembuhan holistik dari sudut pandang spiritual. Kebutuhan pasien secara keseluruhan adalah: fisik (perlu istirahat, pengobatan, pola makan tertentu), mental (membutuhkan kekuatan mental untuk mengatasi rasa sakit), sosial (membutuhkan kehadiran orang lain sebagai teman untuk berbagi perasaan), spiritual (memerlukan kebutuhan konfirmasi kepedulian Tuhan terhadap pasien)
Panti Asuhan Cacat Ganda (PACG) “Bhakti Asih” semula merupakan pilot proyek BKKKS (Badan Koordinasi Kerjasama Kesejahteraan Sosial) Provinsi Jawa Tengah didirikan pada 11 Maret 1985 di Kabupaten Rembang. Dalam perkembangannya, mengingat perawatan klien cacat ganda memerlukan sarana prasarana dan fasilitas yang memadai selanjutnya pada 12 April 1986 PACG Bhakti Asih dipindahkan ke Semarang. Menyesuaikan dengan ketentuan dimana BKKKS tidak melaksanakan Pelayanan Usaha Kesejahteraan Sosial secara langsung maka pada 17 September 1988 Ibu Hj. Ismail (istri gubernur Jawa Tengah saat itu) selaku ketua umum BKKKS Povinsi Jawa Tengah menyerahkan pengelolaan PACG Bhakti Asih kepada YSS KAS yang telah membangun gedung baru khusus untuk pelayanan cacat ganda di Jalan Dr. Ismangil nomor 18, Semarang. Untuk meningkatkan kapasitas pelayanan maka dibangunlah gedung baru dan pada tanggal 5 Desember 2022, PACG Bhakti Asih menempati gedung baru di Jalan Emplak 1-3 Bulu, Pendrikan Kidul, Kota Semarang. Dan sekarang di dalam Panti terdapat 36 orang dengan usia anak paling muda 7 tahun dan yang paling tau 43 tahun.
Dalam mata uliah pastoral care. Saya dan 3 (tiga) orang teman saya memilih Panti Asuhan Cacat Ganda Bhakti Asih ini sebagai tempat kunjungan dalam rangka melihat secara langsung bagaimana keadaan sebenarnya atau secara Real dari tempat bermisi seorang pelaku pastoral care. Dari pengalaman kami sebelum berkunjung, kami harus memberi surat resmi dari Kampus STPKAT (Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik) Santo Fransiskus Asisi Semarang kepada pihak Direktorat YSS (Yayasan Soegijapranata Semarang). Setelah di acc baru kami dapat berkunjung. Dan saat berkunjung, saya melihat anak-anak yang sedang tidur dan bermain di kasur bersama para pengasuh. Serta saya melihat anak-anak yang sedang terapi berdiri di dekat meja makan. Saya dan teman-teman cukup kesulitan untuk berkomunikasi. Mengapa tantangan di sini begitu besar. Apa saja tantangannya? Sudah jelas kendalanya adalah kondisi anak-anak di Panti Asuhan Cacat Ganda ini, sudah jelas dapat dilihat para penghuni panti ini berkebutuhan khusus dan ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi kami yang datang untuk praktik pastoral care disana. pasalnya mereka semua tidak bisa berbicara dengan benar dan bahkan ada yang tingkahnya “Aneh” seperti memukul-mukul kepala, tidak bisa berkomunikasi, dan masih banyak lagi kondisi dimana saya sendiri belum pernah melihat yang seperti ini. Saya dan teman-teman hanya dapat berbicara, bercerita serta berinteraksi dengan para pengasuh. Mendengar kisah anak-anak dari para pengasuh. “Mulai dari bangun pagi mereka makan, pas agak siangan anak-anak terapi. Ada yang terapi berdiri kayak yang di dekat meja makan itu, ada yang di lurusin(luruskan) badannya biar nanti tidak kaku nekuk gitu tangannya biar bisa lurus sama masi banyak terapi lainnya. Habis terapi anak-anak main di sini sampai jam 12 siang, nanti lanjut tidur siang. Habis tidur mandi sore terus makan malam, habis itu ya tidur lagi. Kalau misa ada sebulan sekali” ujar salah seorang pengasuh disana.
Di sela-sela pembicaraan kami, datang seorang anak perempuan yang saya kira awlnya laki-laki dikarenakan potongan rambutnya yang pendek. Anak itu memperkenalkan diri saat saya tanya namanya. Dia bernama Meme. Meme adalah salah satu dari sekian banyak anak yang bisa di ajak berkomunikasi. Saya mencoba bertanya beberapa pertanyaan seperti berapa umurnya dan dari mana asalnya. Meme menjawab ia berumur 14 Tahun dan berasal dari Pati. Salah satu pengasuh di dekat saya memberitahu bahwa dari sekian banyak anak, meme adalah anak yang bisa di ajak komunikasi walaupun kadang suka berbicara tidak jelas. Uniknya meme bisa di ajak untuk membantu membereskan lap, spray dan baju yang baru di angkat dai jemuran untuk di lipat. Saya mencoba mengajak meme berbicara sedangkan teman-teman ada yang mendengarkan dan ada juga yang masih berbicara dengan para pengasuh.
Jujur saja di sana saya menahan air mata saya agar tidak keluar sebab saya sangat tersentuh dengan kondisi anak disana. Apalagi saat saya mengajak berbicara Meme dan saya ajak ke Pati bersama saya waktu liburan meme langsung menolak dan reflek mundur ke belakang seaakan menolak dan takut jika kembali ke Pati. Perasaan takut bisa saya rasakan karena terpancar jelas dari sorot matanya. Saya langsung sedih meliat reflek meme yang seperti itu karena perasaan saya langsung dapat menangkap ketakutan itu. Dan ini baru dan hanya dari satu orang, mungkin jika semua anak di sana dapat berbicara dan berekspresi saya sudah tidak tahu apakah saya dapat membendung air mata ini atau tidak.
Dari praktik ini pula. Saya sebagai calon katekis di bukakan matanya untuk melihat keadaaan dari ladang berpastoral care yang berat. Selain harus bisa untuk mengutamakan hati dan perasaan untuk mengurus, merawat dan mendampingi mereka, kita juga harus siap mental dan fisik agak tidak kalah dengan keadaan. Aspek ini harus lengkap dan jika satu aspek ini hilang akan sulit untuk berpastoral. Seperti halnya saya, mungkin secara fisik dan mental saya kuat namun dalam perasaan saya kalah dengan kesedihan dari satu anak tadi. Karena Feel kesedihan itu begitu mengena di hati saya sehingga emosi saya menjadi sedih dan membuat saya menjadi pendiam disana setelah berbicara dengan meme. Saya sendiri adalah tipe orang dan dapat merasakan emosi seseorang hanya dengan melihat matanya dan sensasi energi yang di pancarkan seseorang dan itu menjadi kelemahan saya dalam berastoral care. Dan kedepannya mungkin saya akan belajar untuk mengontrol emosi saya agar tidak dengan mudah terkontaminasi dengan orang yang sedang saya dampingi.
Maka dari itu. Kegiatan pastoral care saya dan teman kelompok saya yang pertama kali ini menjadi pengalaman pembeajaran yang berharga untuk melangkah sebagai seorang katekis sekaligus pelaku pastoral care yang baik. Banyak pelajaran yang dapat di ambil. Dan dapat di simpulkan pula bahwa semua aspek harus dapat berjalan dengan baik serta di tambah dengan kontrol diri yang baik agar dapat menjadi pelaku pastoral care yang baik pula.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI