Mohon tunggu...
Silvia Mayningrum
Silvia Mayningrum Mohon Tunggu... Penulis - an unlimited adventurer

"Kegagalan dan rasa frustasi adalah sumber dari pertumbuhan" - Koro-sensei

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teguh Akan Gemuruh

10 Juli 2020   00:34 Diperbarui: 10 Juli 2020   19:14 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    

         Riuh suara kerumunan pegawai kantor mulai memecahkan lamunanku di pagi ini, namun gagal. Di sudut ruangan, aku bungkam, memadukan fraksi-fraksi kenangan di masa lampau yang parau. Aku menyeruput kopi Robusta Sidomulyo kesukaanku dengan hangat hingga memori 16 tahun itu menyeruak kepermukaan. Segulung memoriku dengan Bapak terangkat menjadi reka adegan yang aku rindukan sekaligus mengiris inti hatiku secara perlahan.

 ***

Sidomulyo, 2002         

             Ialah Apri. Laki-laki kecil berusia 11 tahun sedang berlarian memasuki areal perkebunan. Kulitnya hitam nyaris legam akibat sering berjemur sambal berburu hama kutu putih disekitar pohon kopi. Dibesarkan bersama seorang adik yang 5 tahun lebih muda darinya oleh kedua orang tua yang sering ia panggil dengan sebutan Bapak dan Ibuk. Bapak hanya seorang petani kopi rakyat dengan luas areal perkebunan sekitar 0,3 ha, kopi yang dibudidayakan adalah jenis kopi robusta, Robusta Sidomulyo, diadaptasi dari nama kampung, begitu orang-orang menyebutnya. Ibuk hanya seorang guru harian di sebuah  SD dekat perkebunan.

            Areal perkebunan itu memiliki luas yang berhektar-hektar dengan beberapa kepala keluarga pemilik areal tersebut. Bapaklah yang memiliki luas lahan yang paling kecil, namun hasil panennya merupakan salah satu yang paling baik. Pada suatu hari, beberpa laki-laki dengan tubuh tegap dan berpakaian rapi menghampiri Bapak. Mereka melakukan perbincangan hingga perdebatan yang cukup serius. Apri mengintip dari balik tirai kamar, menangkap mimik wajah Bapak tidak sedang baik-baik saja. Berulang kali laki-laki bertubuh tegap itu melakukan negosiasi dengan Bapak, namun Bapak mengarahkan mereka untuk kembali kemari beberapa waktu lagi.

            Berhari-hari Apri menerka, ternyata laki-laki bertubuh tegap itu merupakan utusan dari perusahaan konstruksi di Ibukota. Mereka menghampiri kampung karena ingin membeli seluruh lahan kopi yang ada disini. Sontak Bapak menolak dengan keras, diikuti oleh sebagian besar petani. Tak rela. Membeli seluruh lahan berarti mengusir kami dari kampong halaman sendiri, karena otomatis mereka juga membeli bangunan-bangunan yang ada di sekitar kebun. Tak mau. Bapak berada di garda depan penentang tawaran ini. Namun ada saja beberapa orang yang sudah lelah menjadi petani menerima saja tawaran ini. Bapak tak dapat berbuat apa-apa lagi selain menerima keputusan mereka yang mungkin sudah dipertimbangkan dengan matang.

            Alasan Bapak bepengang teguh mempertahankan kebunnya adalah karena besar rasa cinta terhadap kopi-kopinya. Kopi Robusta Sidomulyo, kopi asli Indonesia, asli kampong Sidomulyo. Bapak memiliki keyakinan bila suatu saat nanti, komoditas kopi dapat menunjang kehidupan masyarakat Indonesia, menambah devisa negara, dan menjadi produk primadona masyarakat Indonesia.

            Mendekati hari dimana pergusuran kebun dilakukan, beberapa petani yang awalnya menentang mulai tergiur akan tawaran perusahaan konstruksi. Uang puluhan juta menjadi jaminan petani yang menjual kebunnya agar tetap dapat hidup sejahtera. Bapak tidak dapat mengelak. Negosiasi masih intensif dilakukan hingga akhirnya hanya Bapak laki-laki terakhir yang bertahan melawan segala bentuk tawaran, mulai dari rumah, pekerjaan tetap dan penghidupan lainnya. Ibuk mulai getir. Khawatir dengan keputusan Bapak. Apri hanya dapat terpaku sambil menatap langit-langit, kebun tempatnya bermain sambil belajar akan lenyap dalam hitungan hari. Perih.

            Saat hari penggusuran itu tiba, tinggallah kebun Bapak yang berdiri dengan gagahnya. Namun naas. Saat Bapak ingin keluar rumah untuk memantau kebun. Sebuah parang tergeletak sembarangan hingga mengenai kaki Bapak yang tak memakai alas kaki. Ternyata semua itu akibat ulah penggusur kebun yang muak dengan Bapak. Akibatnya Bapak mengalami pendarahan hebat. Dibawa kerumah sakit dengan suara ambulans yang memekakkan telinga. Menambah getir hati Ibuk, Apri, dan Adiknya yang masih kecil. Bapak terserang tetanus. Seminggu kemudian pahlawan Kopi Sidomulyo sudah berpulang, direngkuh Sang Kuasa.

            Pilu. Apri sedih berkepanjangan. Sedih karena kebun kopi terbabat habis dan kini Bapak yang senantiasa teguh akan pendiriannya sudah tak adalagi di dunia. Ibuk terancam tak memiliki pekerjaan karena SD tempat Ibuk bekerja amat strategis dengan lokasi penggusuran sehingga kemungkinan besar juga akan ikut tergusur. Ibuk bingung bukan kepalang. Namun ia tak akan rela memberikan lahan kebun untuk perusahaan bengis itu. Dan ternyata benar, beberapa hari setelah kepergian Bapak, SD tempat ibuk juga ikut tergusur. Ibuk kehilangan pekerjaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun