Banyak orang bilang uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tapi di malam-malam tertentu, membuka aplikasi belanja, berjalan sendirian di mall, atau sekadar menatap etalase toko mungkin terasa seperti satu-satunya cara agar merasa lebih baik walau hanya sebentar. Sebetulnya, itu bukan karena butuh, melainkan karena lelah. Belanja memang bisa jadi pelarian, tapi seperti obat pereda nyeri, efeknya cepat hilang, sementara lukanya tetap ada. Fenomena inilah yang dikenal sebagai retail therapy.
APA ITU RETAIL THERAPY?
Menurut laman Halodoc, retail therapy adalah perilaku berbelanja untuk memperbaiki suasana hati, mengurangi stres, atau mengatasi emosi negatif, meskipun istilah ini tidak mengacu pada terapi medis. Saat berbelanja entah secara daring maupun di toko, Â otak memicu pelepasan hormon dopamin dan endorfin, dua zat kimia yang menimbulkan rasa senang sesaat. Karena itu, aktivitas seperti membeli barang baru atau sekadar jalan-jalan di pusat perbelanjaan bisa terasa menenangkan, memberi sensasi "hadiah kecil" untuk diri sendiri, meskipun hanya sementara.
Fenomena ini dapat dipahami sebagai hasil dari tekanan hidup masyarakat modern. Gaya hidup serba cepat, beban kerja tinggi, serta tuntutan untuk selalu produktif membuat banyak orang mencari pelarian instan dari stres dan kelelahan mental. Berbelanja atau menghabiskan waktu di mal kemudian menjadi bentuk hiburan yang mudah diakses dan diterima secara sosial  tidak menimbulkan stigma, bahkan sering dianggap sebagai bentuk self reward.
Data mendukung kecenderungan ini. Berdasarkan OCBC NISP Financial Fitness Index 2023, sekitar 35% anak muda Indonesia mengaku pernah melakukan pengeluaran impulsif untuk kebutuhan gaya hidup, seperti konser, traveling, atau belanja berlebihan. Menariknya, 60% di antaranya memiliki pendapatan menengah, menandakan bahwa perilaku ini tidak terbatas pada mereka yang berpenghasilan tinggi, melainkan juga pada kelompok yang ingin "terlihat mapan" di tengah tekanan sosial dan budaya konsumtif.
(Sumber: OCBC NISP Financial Fitness Index 2023, ocbcnisp.com)
Namun, rasa senang dari retail therapy bersifat sementara. Setelah kantong belanja dibuka atau paket tiba dan euforia memudar, sering muncul rasa kosong atau bahkan penyesalan. Pola ini dapat menjadi kebiasaan emosional yang berulang: saat sedih, seseorang berbelanja; merasa lega sesaat; lalu kembali kosong; hingga akhirnya mengulang siklus yang sama. Lucunya, banyak orang tahu bahwa belanja tidak menyelesaikan masalah, tapi tetap melakukannya. Mungkin karena membeli sesuatu  atau sekadar berjalan di antara rak-rak toko memberi ilusi bahwa hidup masih bisa dikendalikan, walau hanya sebentar.
CARA MENGATASI FENOMENA INI
- Sadari emosi sebelum berbelanja. Tanyakan pada diri sendiri: "Aku benar-benar butuh barang ini, atau cuma butuh tenang?"
- Jeda sejenak sebelum checkout. Kadang keinginan membeli hilang setelah beberapa menit berpikir.
- Cari pelarian lain yang lebih menenangkan. Misalnya berjalan sore, membaca, menulis, atau berbincang dengan teman.
 Belanja tentu bukan hal yang salah. Memberi hadiah kecil untuk diri sendiri bisa menjadi bentuk apresiasi, selama dilakukan dengan kesadaran. Namun ketika belanja dijadikan pelarian utama dari tekanan emosional, ia berubah menjadi ketergantungan yang menenangkan sesaat tetapi tidak menyembuhkan.
Belanja memang bisa menenangkan, tapi bukan solusi untuk luka yang belum kita hadapi. Rasa bahagia dari retail therapy sering kali hanya menjadi jeda singkat dari kenyataan yang melelahkan. Di balik tumpukan kantong belanja dan notifikasi pembayaran ada kebutuhan emosional yang belum benar-benar tersentuh kebutuhan untuk dipahami, diterima, dan diberi waktu untuk pulih. Kadang yang kita butuhkan bukan paket yang datang esok hari, melainkan keberanian untuk berhenti sejenak dan mendengarkan diri sendiri. Sebab, ketenangan sejati tidak selalu hadir dari hal-hal yang bisa dibeli, melainkan dari kemampuan untuk menerima bahwa tidak apa-apa merasa lelah asalkan kita mau benar-benar berhenti dan memberi ruang bagi diri untuk beristirahat.