Kita hidup di era yang serba cepat. Informasi datang silih berganti, teknologi melesat, dan koneksi digital terasa tak terbatas. Tapi, di tengah semua kecanggihan itu, ada satu hal yang justru kian langka: kepedulian sosial. Kita mungkin tahu kabar seseorang tertimpa musibah hanya dalam hitungan detik, tapi tidak semua dari kita bergerak untuk peduli. Dunia menjadi lebih terhubung secara teknologi, namun terasa lebih dingin secara empati.
Fenomena ini bukan sekadar analisis sosiologis. Bagi umat Islam, ketidakpedulian sosial bukan hanya masalah moral, tapi juga masalah keimanan. QS. al-Ma'un hadir sebagai alarm spiritual untuk membangunkan kesadaran kita bahwa iman yang sejati tidak berhenti pada ritual, tapi harus menjelma menjadi aksi nyata untuk membantu sesama.
QS. al-Ma'un: Surat Pendek, Pesan Panjang
QS. al-Ma'un adalah salah satu surat pendek dalam al-Qur'an, namun memuat pesan sosial yang sangat dalam. Berikut teks dan terjemahnya:
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna." (QS. al-Ma'un: 1--7)
Surat ini mengandung dua dimensi besar: ketulusan ibadah dan kepedulian sosial. Ia mengecam keras mereka yang beribadah secara lahiriah, tapi abai terhadap nilai-nilai sosial. Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menyebut surat ini sebagai bentuk teguran terhadap orang-orang munafik yang memperlihatkan ibadah namun tidak memiliki empati terhadap yatim dan miskin (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim).
Tafsir Sosial dan Tantangan Masa Kini
Pendekatan tafsir sosial memberikan perspektif segar dalam membaca QS. al-Ma'un. Menurut Prof. Dr. Syamsul Hidayat, M.Ag., surat ini tidak hanya bersifat normatif tetapi kontekstual---menyerukan aksi nyata untuk memperbaiki struktur sosial yang timpang. Dalam tulisannya "Tafsir Sosial dalam Perspektif al-Ma'un" (2018), beliau menekankan bahwa ayat ini menegur perilaku 'individualisme religius', di mana seseorang merasa cukup dengan ibadah pribadi tanpa memperhatikan penderitaan sosial di sekitarnya.
Senada dengan itu, Dr. Imam Mujahid, M.Ag. dalam karya "Implementasi Nilai Sosial al-Ma'un di Era Digital" (2020), menyatakan bahwa media sosial seringkali menciptakan ilusi kepedulian. Banyak orang membagikan tautan donasi atau menyukai postingan amal, namun belum tentu terlibat secara konkret. Ia mengajak umat Islam untuk mengembalikan makna al-Ma'un sebagai gerakan sosial yang nyata---bukan hanya simbolik.
Ketidakpedulian Sosial: Wajah Nyata di Sekitar Kita
Ketimpangan ekonomi yang semakin lebar, kemiskinan struktural, dan meningkatnya angka pengangguran adalah wajah nyata dari masalah sosial kita hari ini. Menurut data BPS 2023, terdapat lebih dari 25 juta penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, budaya konsumtif dan hedonisme juga meningkat.