Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger ajah

blogger @ sigitbud.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media Sosial Mempercepat Radikalisasi Seorang Awan Menjadi Teroris

18 Mei 2018   00:37 Diperbarui: 18 Mei 2018   01:11 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi Media, FMB 9 di Kemenkominfo/dokumentasi pribadi

Apa hubungan radikalisme dan terorisme dengan media sosial, sebuah tema menarik di tengah rentetan teror bom dan polemik di media sosial soal cerita di balik cerita aksi-aksi tersebut. Media sosial selama ini dicurigai sebagai sarana efektif kelompok ekstrim seperti ISIS dan kelompok lain melebarkan pengaruhnya. Benarkah media sosial mampu mempengaruhi seseorang bersikap radikal dan selanjutnya bergabung dengan kelompok radikal?

Ternyata pengaruh media sosial radikalisasi dan rekruitmen anggota kelompok ekstrim adalah kontekstual, tergantung situasi dan kondisi politik negara bersangkutan. Pada negara dengan sistim demokrasi yang longgar seperti Indonesia, media sosial sangat efektif untuk menyebarkan gagasan radikal tidak untuk rekruitmen. Lain lagi di negara dengan penekanan keamanan tinggi seperti Singapura dan Malaysia media sosial bisa sangat efektif dalam proses radikalisasi dan rekruitmen.

Hal ini dinyatakan oleh Solahudin, Pakar Teroris Universitas Indonesia dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat di Kementerian Kominfo (16/05/2018) bertajuk "Cegah dan Perangi Aksi Teroris". Ketika mengikuti acara ini, saya tertarik dengan paparan Dosen UI ini yang menganalisa terorisme di Indonesia berdasar pengamatan dan riset.

Dipaparkan Solahudin, berdasarkan hasil penelitiannya terhadap narapidana terorisme, sebanyak 85 persen di antaranya, melakukan aksi teror hanya dalam rentang kurang dari satu tahun, sejak pertama kali terpapar paham ISIS.

"Kemudian saya mencoba membandingkan dengan terpidana terorisme sejak 2002-2012. Ternyata, para napiter ketika itu rata-rata memerlukan waktu 5-10 tahun, sejak pertama kali terpapar sampai dengan terlibat dalam aksi terorisme," tuturnya.

Uraian ini sesuatu yang baru buat saya, ternyata peran media sosial sangat besar dalam proses pematangan seseorang awam menjadi fanatik terhadap sebuah ajaran radikal. Solahudin bersama akademisi lain sudah mengamati fenomena radikalisme ini cukup lama, sehingga bisa mengambil kesimpulan seperti itu.

"Sebenarnya, oleh kalangan akademisi sudah terlihat bahwa gerakan ekstrimisme menggunakan media online memang tengah nge-hits. Baik itu untuk peradikalisasian ataupun rekruitmen. Namun khusus di Indonesia, penggunaan media online oleh kelompok tersebut hanya terkait dengan upaya peradikalisasian," katanya.

Tak heran bila kelompok ISIS sangat menggunakan media sosial untuk menyebarkan pengaruh dan mencari anggota baru, serta simpatisan. Bila beberapa waktu lalu Kemenkominfo pernah memblokir aplikasi messanger "Telegram" karena dicurigai sebagai media radikalisasi, hal itu tidak mengada -- ada. Menurut Solahudin, seorang jumlah grup -- grup radikal ini mencapai puluhan dan beranak-pinak, seorang simpatisan bisa menjadi seorang loyalis dan membangun grup sendiri.

Solahudin mengatakan, dirinya juga menemukan bahwa hampir semua terpidana kasus teroris itu memiliki akun sosial media. "Sehingga saya berkesimpulan semua pelaku aksi terorisme memang memiliki keterkaitan dengan sosial media," tegasnya.Salah satu contoh peran media sosial mendorong percepatan peradikalisasian, Solahudin menjelaskan terkait terpidana teroris bernama Anggi, yang ditangkap aparat pada Agustus 2017, terkait rencana peledakan bom di Bandung dan Jakarta.

"Anggi yang merupakan buruh migran di Hongkong, ditangkap pada Agustus 2017 karena merencanakan pemboman di Bandung, bahkan sebagai pengantinnya, dan Jakarta. Anggi itu berasal dari Klaten. Pada November 2016, Anggi masih diketahui bukanlah sosok perempuan yang agamis, bahkan tidak berhijab. Tapi, pada Desember 2016, teman-temannya mulai melihat adanya perubahan," tuturnya. Kemudian, Solahudin membeberkan, pada Februari -- Maret 2017, Anggi meng-upload dirinya tengah di-baiat di sebuah taman di Hongkong oleh Abu Bakar al Bagdadi. Pada April 2017, sambung dia, Anggi ditangkap aparat Hongkong dan dideportasi ke Indonesia.

"Di tanah air, Anggi menjalani proses deradikalisasi selama 2-3 minggu oleh Kemensos. Dan kemudian, dipulangkan ke kampungnya di Klaten. Namun sebulan kemudian, Anggi menghilang dari kampungnya. Dan pada Agustus 2017, dia ditangkap Densus 88," tuturnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun