Tapi sayangnya, bayang-bayang trauma "kudeta tersamar"Â yang menunggangi reformasi 1998 silam ternyata masih menjadi momok yang sangat begitu menakutkan bagi pemerintahan Jokowi.
Ketakutan atas pengulangan peristiwa sejarah ketika para "aktor intelektual" mampu bermain peran dengan sangat senyap dibalik layar, saat berhasil menggulingkan Rezim Orba, padahal para aktor intelektual tersebut di antaranya bisa jadi memang ada yang sedang duduk di dalam pemerintahan Jokowi.
Sebenarnya juga, berbagai demonstrasi yang mengkritisi pemerintahan Jokowi, seperti di antaranya demonstrasi penolakan UU Omnibus Law Ciptaker, demonstrasi penolakan revisi UU KPK dan demonstrasi lainnya yang bersifat kritis terhadap pemerintah adalah merupakan perwujudan keresahan secara umum dari rakyat akan kondisi politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya negara yang dirasa semakin tidak beres.
Tentunya hal ini pasti akan mendapat respon reaktif dari para mahasiswa sebagai barometer kelas intekektual muda yang paling sensitif, sehingga inilah yang menyebabkan mengapa para mahasiswa pada akhirnya sampai harus tumpah ruah turun ke jalan.
Namun, yang sangat disayangkan lagi, bukannya pemerintah semakin peka dengan respon dan reaksi yang terjadi tersebut, justru yang terjadi adalah pola berulang ketika pemerintah seringkali mengalihkannya dengan membentuk rilis kepada publik bahwa ada aktor-aktor intelektual di balik demonstrasi, bahwa pemerintah sudah mengetahui siapa tokoh-tokoh intelek penyandang kepentingan dan penyandang dana di balik penggerak demonstrasi.
Pemerintah tidak menyikapinya dengan bijak terkait apa yang menjadi sebab utamanya, apa yang menjadi susbtansinya dan tidak peka terhadap gejalanya, kenapa demonstrasi massa begitu masif dan meluas sampai ke pelosok Nusantara.
Berbagai demonstrasi massa yang terjadi terhadap pemerintahan Jokowi bisa akan jadi pemandangan yang sering terjadi kedepan bila tidak disikapi secara peka, apa yang menjadi akar penyebab dari masalahnya.
Pemerintahan Jokowi mungkin bisa saja terus meredam berbagai demonstrasi dan membungkam para aktifis yang kritis terhadap pemerintah, lalu bersuka hati dengan penuh kebanggaan karena berhasil mengatasinya.
Akan tetapi, perlu jadi catatan, selama masalah-masalah mendasar yang didera oleh rakyat belum terselesaikan sama sekali, maka gerakan revolusioner rakyat beserta para mahasiswa sebagai barometer yang paling sensitif terhadap perubahan tidak akan pernah bisa dihentikan.
Meskipun sejumlah gelontoran dana miliaran rupiah dalam rangka mengatasi gerakan demonstrasi tersebut dilakukan oleh pemerintah, tapi selama hukum besi, kepentingan politik praktis, kepentingan pemodal, gejala kapitaliasi dan oligarki lebih mendominasi di atas kepentingan rakyat, semuanya akan sangat menjadi percuma.
Gerakan rakyat sipil dan para mahasiswa meski harus terperas keringat, kucuran air mata, dan mungkin ada genangan darah yang tertumpah akan terus terjadi, karena energi dari nyala api ketertindasan masih berkobar dalam sekam.