Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Misteri "Malam Jahanam" Pengesahan Omnibus Law, Berpotensikah Inkonstitusi?

10 Oktober 2020   09:44 Diperbarui: 10 Oktober 2020   09:59 2003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar via Tribunnews.com

Secara mengejutkan DPR RI telah mengesahkan RUU Omnibus Law menjadi Undang-Undang pada senin malam tanggal 5 Oktober 2020.

Ya, ibarat kata sidang malam yang jadi "malam jahanam", malam yang penuh misteri dan tanda tanya besar, yang menyebabkan gaduhnya rakyat di tengah pandemi corona, karena akhirnya meletus gelombang massal demonstrasi massa secara masif di berbagai daerah nusantara.

Kenapa penuh misteri dan tanda tanya besar?

Sidang-sidang dan rapat DPR membahas RUU Omnibus Law tak ubahnya seperti cerita misteri dari sidang-sidang dan rapat yang diadakan oleh para dedemit penghuni gunung merapi, yaitu dipimpin oleh "Mak Lampir" beserta anggotanya yang terdiri dari "pasukan dedemid ataupun siluman", bersifat senyap, tak terlihat dan rahasia alias tersembunyi dari publik.

Pembahasan RUU Omnibus Law dikebut oleh DPR dan pemerintah dengan menggelar "rapat-rapat siluman" dari satu hotel ke hotel sejak 27 September sampai 3 Oktober 2020 dan terakhir tiba-tiba sudah ada sidang tanggal 5 Oktober 2020 sampai akhirnya disahkan.

Misteriusnya lagi, keberadaan dokumen final RUU Omnibus Law masih juga menjadi misteri, sebab ternyata, ada dua draf RUU Cipta Kerja dengan nama file yang berbeda.

Satu draf dengan nama file "RUU Cipta Kerja FINAL-Paripurna", sedangkan yang satu lagi adalah dengan file '5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja - Paripurna', atau dengan kata lain, ada dua draf, yaitu draf RUU Omnibus Law setebal 900 halaman lebih dan draf final RUU Omnibus Law setebal 1000 halaman lebih.

Sehingga menjadi sangat aneh, misteri dan tanda tanya besar karena ternyata faktanya, draf final RUU Omnibus Law belum beredar luas kepada khalayak publik, karena justru draf yang belum final banyak beredar di khalayak publik.

Padahal, draf final RUU Omnibus Law sudah ada bentuknya dan disepakati DPR, DPD, dan pemerintah dalam sidang dan rapat, sampai sebelum pengesahan.

Parahnya lagi, ternyata dari anggota DPR sendiri, ada yang tidak punya draf final RUU Omnibus Law, lalu yang tambah aneh lagi, dua hari pasca disahkan tetiba para menteri bisa menggelar press release terkait UU Omnibus Law?

Dari manakah dapatnya, kalau memang itu draf final RUU Omnibus Law kenapa kok para menteri sudah ada yang punya, sementara banyak anggota DPR yang belum punya, dan apalagi khalayak publik sulit sekali mengakses draf final RUU Omnibus Law saat sebelum pengesahan tersebut.

Para menteri dengan begitu hebatnya menjelaskan isi UU Omnibus Law dengan semua bernada positif dan bertolak belakang dengan apa yang disampaikan kelompok penolak, mereka membantah semua informasi yang disampaikan oleh para demonstran.

Dan kenapa juga pemerintah terlambat ataupun baru ribut koar-koar disosialisasikan, setelah gelombang demonatrasi massal terjadi baru ribut menyoal draf yang beredar bukanlah draf final.

Lalu yang beredar di khalayak publik kenapa kok masih draf yang belum final, sehingga buruh maupun masyarakat dan mahasiswa jadi kurang akurat data dan informasi yang diperoleh terkait RUU Omnibus Law.

Kenapa justru RUU Omnibus Law yang berdampak luas pada kehidupan kaum buruh, UMKM, lingkungan hidup, dan lainnya, tapi tidak tampak naskah final dari RUU-nya sama sekali kepada khalayak publik?

Sehingga jangan salahkan massa, ketika bergerak melakukan aksi dengan memegang draf yang belum final, karena faktanya draf final seperti sedang disembunyikan atau tidak di sebarluaskan, DPR dan Pemerintah terkesan diam-diam.

Masalahnya publik tak bisa memverifikasi, karena tak ada dokumen resmi yang dapat diakses, jadi bagaimana mau berpartisipasi kalau naskah akademiknya disembunyikan atau mana draf yang tidak jelas, mana yang asli, mana yang setengah asli, mana yang palsu, mana draf yang aktual, mana yang tengah, dan mana yang akhir.

Misteri dan jadi tanda tanya besar, karena seharusnya draf final RUU Omnibus Law sebelum pengesahan, maka semestinya draft final RUU Omnibus Law haruslah wajib disosialisasikan dan disebarkan secara terbuka terlebih dahulu kepada khalayak publik, tapi ternyata tidak ada angin tidak ada hujan, tetiba DPR sudah mengesahkan begitu saja. Wow! serem!

Gambar via klikwarta.con
Gambar via klikwarta.con
Nah, bila berlatarbelakang sampai di sini, apakah tidak janggal dan jadi tanda tanya besar, apakah tidak aneh dan misteri karena seperti ada yang disembunyikan dan dirahasiakan, ada agenda tertentu yang jadi misi tersembunyi DPR dan Pemerintah?

Jadi inilah alasannya kenapa "malam jahanam" tanggal 5 Oktober 2020 tersebut jadi misteri dan tanda tanya besar.

Lalu, apakah Omnibus Law yang sudah disahkan ini, berpotensi inkonstitusi?

Ya, sangat berpotensi dan rawan melanggar Hukum, karena cacat prosedural, yaitu berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang secara jelas dan terang menyatakan, bahwa salah satu asas penyusunan undang-undang adalah keterbukaan.

Semestinya, sejak proses penyusunan, naskah akademik dan draf rancangan undang-undang terbaru selalu dibagikan ke publik, karena jika tidak dibagikan kepada publik, maka akan berakibat pada hilangnya hak partisipasi masyarakat.

Hal ini akan berkonsekuensi kepada ranah hukum sehingga berpotensi, bahwa UU Omnibus Law dapat terjegal saat diajukan ke Mahkamah Konstitusi melalui langkah judicial review, bahkan cacat prosedural tersebut,  dapat juga diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai tindakan "malaadministrasi".

Karena kalau dari prosedural administrasi, bila keadminiatrasian tidak menaati prosedur yang berlaku, maka produk yang dihasilkan tersebut adalah produk cacat atau dianggap tidak pernah ada atau konsekuensinya adalah batal demi hukum.

Jadi, tak ada alasan selain murka, turun ke jalan, demonstrasi dan aksi massal terhadap situasi yang terjadi terkait Omnibus Law ini. Sebab, "bagaimana mungkin sebuah lembaga tinggi negara bisa main-main mengesahkan sesuatu yang akan mempunyai efek luas bagi seluruh rakyat tanpa keterbukaan dan transparasi kepada ruang publik seluas-luasnya.

Gambar via Kompas.com
Gambar via Kompas.com
Bahkan, pembahasan RUU Omnibus Law memang sudah tertutup sejak awal, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sampai mengirim surat permohonan keterbukaan informasi publik kepada pihak kementerian terkait atas salinan draf RUU Omnibus Law.

Seperti yang juga dijelaskan oleh peneliti Kontras, Rivanlee, bahwa (Kontras) sampai mengirim surat permohonan kepada Kementerian Koordinator Perekonomian, Sekretariat Negara, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM, serta Kementerian Hukum dan HAM, tentang draft RUU Omnibus Law tapi hasilnya adalah Nihil dan mengecewakan.

Kemenkopolhukam bahkan menyatakan prosesnya memang bersifat rahasia, lalu Kemenkumham hanya membalas normatif perihal keterlibatan mereka, Sekneg tidak membalas, sementara Kemenko Perekonomian baru membalas setelah draf di unggah di halaman website resmi mereka.
(Peneliti Kontras, Rivanlee)

Nah, pada awalnya saja RUU Omnibus Law, sifatnya sudah rahasia seperti ada udang dibalik bangsat eh dibalik batu, setelah didorong oleh Kontras baru di keluarkan, itupun baru hanya Kemenko Perek, eh maaf jadi tidak enak juga disingkat, maksudanya Kementerian Perekonomian, yang merespon dengan data, dan masih tanda tanya apakah itu draf yang final atau bukan.

Sehingga sampai di sini, terkait Omnibus Law ini, memang ada peluang inkonstitusi dan sangatlah bisa diperjuangkan untuk digugat ke Mahkamah Konstitusi, tapi janganlah terlupa, karena mesti berkaca juga pada peristiwa jahanam pengesahan UU KPK yang silam.

Sebab seperti diketahui, untuk kesekian kalinya, ini adalah kerja senyap DPR, tentu publik masih mengingat bagaimana revisi UU KPK berjalan di DPR kemudian disahkan begitu saja.

Pembahasan itu juga berlangsung sangat begitu cepat, kurang lebih hanya 15 hari, dimulai dari rapat Badan Legislasi DPR RI pada 3 September 2019, bersamaan dengan pembahasan usulan revisi untuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (UU MD3) sampai pada pengesahan UU KPK yang baru pada tanggal 17 September 2019.

Publik kecolongan karena pemerintah dan DPR benar-benar mengebut pembahasan dan tetap mengesahkan UU KPK yang baru tanpa mempertimbangkan aspirasi mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil, sampai pada akhirnya semua gugatan akhirnya dimentalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dan belum lagi terakhir beberapa waktu lalu mengesahkan UU Minerba.

Ulangan umum akhirnya terjadi lagi saat pemerintah dan DPR sepakat terhadap pembahasan RUU Omnibus Law yang dikebut hingga malam hari dan terakhir pada 5 Oktober 2020, dan hal ini tidak biasanya, pembahasan undang-undang dilakukan lebih dari batas waktu aktivitas yang ditentukan di Gedung DPR/MPR. 

Sehingga pada akhirnya DPR mengesahkannya dalam paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang dan tercatat hanya ada dua partai yang menolak hasil pembahasan dari 9 fraksi partai di DPR, yaitu adalah Demokrat dan PKS.

Namun usut punya usut, ternyata RUU Omnibus Law ini, pelibatan partisipasi masyarakat di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkesan hanya formalitas belaka, aspirasi masyarakat masih dipandang sebelah mata, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang hanyalah jargon.

Sesuai aturan hukum yang berlaku yang sudah disebutkan sebelumnya, seharusnya DPR dan Pemerintah memberi jalan agar partisipasi masyarakat dilibatkan dalam pembuatan aturan, tapi pada praktiknya, ketentuan ini hanya menjadi formalitas guna memenuhi prosedur pembentukan undang-undang, seharusnya aspirasi publik dalam pembentukan undang-undang bukanlah hanya sekedar formalitas, sehingga harus dilaksanakan oleh DPR dan Presiden.

Keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat lebih sebagai pencitraan belaka, karena partisipasi didominasi oleh kepentingan politik dari partai politik atau golongannya, dibandingkan kepentingan masyarakat.

Kalaupun memang ada aspirasi masyarakat, pertanyaannya adalah seberapa besar dan signifikan sesungguhnya aspirasi serta partisipasi masyarakat berpengaruh dalam proses pembahasan substansi rancangan undang-undang yang sedang dibahas, sebab faktanya pembahasan omnibus law minim pelibatan masyarakat sipil dalam merumuskan masalah.

Nah, UU Omnibus Law ini perlu mendengarkan aspirasi dari seluruh kelompok masyarakat, sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Karena yang jelas, pengaruh Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Undang-undang adalah salah satu bentuk pemerintahan yang baik.

Jadi, perjuangan belum selesai, jangan lelah dan lengah lagi, seluruh elemen bangsa harus terus tetap semangat untuk maju menggugat RUU Omnibus Law yang telah disahkan DPR pada malam jahanam tersebut, masih ada peluang untuk menjegalnya karena berpotensi inkonstitusi, dan semoga Tuhan merestui dan ada jalan yang terbaik.

Semoga bermanfaat.
Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun