Mohon tunggu...
MR. Pelengkahu
MR. Pelengkahu Mohon Tunggu... Universitas Sebelas Maret

Law and Public Policy

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pembangunan Bukan Perusakan: Narasi Etis dari Selatan

15 Juli 2025   12:25 Diperbarui: 15 Juli 2025   12:24 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam hampir setiap proyek pembangunan besar, selalu ada kisah tentang apa atau siapa yang dikorbankan. Hutan ditebang, sungai dibendung, tanah dialihfungsi, dan komunitas dipinggirkan. Semua itu dilabeli sebagai "harga yang wajar" demi pertumbuhan ekonomi. Tetapi benarkah pembangunan tidak bisa dilakukan tanpa merusak? Apakah pengorbanan ekologis adalah sesuatu yang niscaya, tak terelakkan? 

Di negara-negara Selatan, termasuk Indonesia, logika pembangunan sering diwarisi dari kerangka kolonial dan industrial yang melihat alam sebagai ladang eksploitasi. Sumber daya alam diperlakukan sebagai komoditas yang tak bernyawa, dan kerusakan lingkungan dianggap sebagai efek samping yang bisa dinegosiasikan. Padahal, dalam praktiknya, kerusakan itu menimpa tubuh-tubuh nyata. Manusia kehilangan tanahnya, satwa kehilangan habitatnya, dan generasi mendatang mewarisi krisis ekologis yang tidak mereka pilih. 

Kini, kita perlu mengganti cara pandang tersebut. Sudah waktunya kita mengatakan: pembangunan tidak harus berarti perusakan. Kita harus mulai membangun dari cara berpikir baru bahwa membangun berarti merawat kehidupan, bukan mengorbankannya. 

Dari Eksploitasi Menuju Perawatan 

Gagasan bahwa pembangunan harus disertai pengorbanan telah menjadi dogma kebijakan yang bertahan lama. Namun kini, muncul pendekatan yang menantangnya: pembangunan sebagai perawatan. Ini bukan gerakan anti pembangunan. Sebaliknya, gagasan ini justru menekankan bahwa pembangunan sejati adalah proses memperkuat kehidupan manusia dan non manusia melalui tanggung jawab ekologis yang adil dan regeneratif. 

Salah satu pendekatan yang penting di sini adalah teori metabolisme sosial. Teori ini memandang bahwa manusia adalah bagian dari sistem pertukaran energi dan materi dengan alam. Kita boleh memakai kayu untuk membangun rumah, mengambil air untuk irigasi, dan memanfaatkan lahan untuk pangan. Tetapi setiap pengambilan mesti dibarengi dengan tanggung jawab untuk memulihkan, merestorasi, dan menjaga keberlangsungan sistem hidup. 

Metabolisme sosial mengajarkan bahwa tidak ada pengambilan yang tanpa jejak. Semua tindakan memiliki biaya ekologis. Logika ini sangat berbeda dari paradigma eksploitasi. Pembangunan tidak hanya dihitung dari output ekonomi, tetapi juga dari biaya sosial, ekologis, dan moral. Prinsip utamanya adalah: siapa yang mengambil, wajib mengembalikan. Siapa yang membangun, wajib merawat. Di sinilah muncul etika baru: pembangunan sebagai proses kolektif yang melibatkan kepedulian dan tanggung jawab, bukan akumulasi tanpa batas. 

Suara dan Praktik dari Selatan

Sementara wacana pembangunan dari negara-negara Utara kerap dibungkus jargon teknokratis, banyak komunitas di Selatan justru menunjukkan bahwa pembangunan berbasis perawatan bukanlah hal utopis. Di Kalimantan, masyarakat adat merawat hutan sebagai ruang hidup spiritual sekaligus ekonomi. Di Flores dan Timor, praktik agroekologi memperlihatkan bahwa pangan lokal bisa diproduksi secara mandiri dan berkelanjutan. Di Bali, sistem irigasi subak bukan hanya infrastruktur pertanian, tetapi juga warisan etika ekologis kolektif. 

Gerakan pemulihan lahan pascatambang di Sulawesi Tenggara, penolakan PLTU oleh warga Batang, serta solidaritas antardaerah dalam krisis bencana menunjukkan bahwa perlawanan terhadap pembangunan eksploitatif juga melahirkan imajinasi politik baru. Bukan hanya penolakan, tetapi juga pembentukan ulang hubungan manusia dengan tanah, air, dan komunitas. Inilah narasi alternatif yang patut diangkat. Masyarakat Selatan bukan hanya korban pembangunan, tetapi juga produsen nilai, pengetahuan, dan praktik pembangunan yang lebih adil terhadap kehidupan. Ini bukan semata gerakan lokal, tapi benih narasi global yang lahir dari pengalaman luka ekologis dan keberanian untuk merawat. 

Membangun Etika dan Politik Pembangunan Baru 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun