"Alya, maaf ganggu malem-malem," kata Ryan saat Alya membuka pintu, senyumnya sedikit canggung. "Aku cuma mau ngasih tahu, tadi aku lihat seseorang ngintip di sekitar rumah Mira.Â
Mungkin cuma satpam, tapi... rasanya aneh."
Alya merasa bulu kuduknya berdiri. "Ngintip? Kamu yakin?" Ia teringat surat Mira, dan tiba-tiba Ryan terasa seperti bagian dari teka-teki yang belum ia pahami.
"Iya, aku lagi jalan-jalan sama anjingku tadi. Orang itu buru-buru pergi pas aku deketin," jawab Ryan, menggosok lehernya. "Aku pikir, mungkin kamu tahu sesuatu, soalnya kamu kan baru pindah ke rumah yang deket rumah Mira."
Alya ragu sejenak. Haruskah ia ceritakan soal surat itu? Ryan tampak ramah, tapi di Puri Anggrek, ramah bisa jadi topeng. "Aku nggak tahu apa-apa," jawabnya cepat. "Tapi thanks ya, aku bakal hati-hati."
Ryan mengangguk, tapi matanya menunjukkan ia tak sepenuhnya percaya. "Oke, kalau ada apa-apa, bilang aja. Aku di rumah nomor 10." Ia berbalik pergi, tapi Alya merasa ada sesuatu yang tak ia katakan.
Keesokan paginya, Alya memutuskan untuk mengunjungi rumah Mira. Ia tak tahu apa yang ia cari, tapi surat itu membuatnya merasa harus melakukan sesuatu.
 Rumah Mira, dengan pagar putih dan taman yang masih terawat, terasa sepi. Alya mencoba mengintip melalui jendela, tapi tirai ditutup rapat. Saat ia berjalan ke samping rumah, ia melihat sesuatu di bawah semak-semak: sebuah gelang perak kecil dengan inisial "M.L."
Alya mengambil gelang itu, jantungnya berdetak kencang. Apakah ini milik Mira? Dan kenapa ada di semak-semak? Ia teringat kata-kata Ryan tentang seseorang yang mengintip. Apakah orang itu mencari sesuatu---atau menyembunyikan sesuatu?
Saat kembali ke rumah, Alya mendapat pesan WhatsApp dari Sita: "Alya, kita harus ngobrol. Aku nemu sesuatu soal Mira. Ketemu di kafe deket gerbang, jam 2." Alya menatap gelang di tangannya, lalu surat di meja makan. Ia tahu ia sedang melangkah ke wilayah berbahaya, tapi rasa ingin tahunya lebih besar dari ketakutannya.
Narator (Mira):