Pikiran Alya terganggu oleh suara klakson dari luar. Ia berjalan ke pintu depan dan melihat Sita Rahayu, tetangga yang tadi pagi bercerita tentang kematian Mira, sedang memarkir mobilnya.Â
 Sita keluar dengan wajah lelah, membawa tas belanja penuh dengan kebutuhan anak-anaknya.
 "Pagi, Alya!" sapa Sita, meski nada suaranya lebih sopan daripada tulus. "Masih beres-beres?"
 "Iya, masih kewalahan," jawab Alya, mencoba tersenyum. Ia ingin bertanya tentang Mira, tapi sesuatu dalam dirinya ragu. Surat itu membuatnya paranoid.Â
 "Eh, tadi di pemakaman, kamu bilang Mira nggak mungkin bunuh diri. Emang kenapa?"
 Sita menghela napas, meletakkan tas belanjanya di trotoar. "Entah kenapa, aku nggak percaya aja. Mira selalu kelihatan... terlalu teratur, tahu nggak? Orang kayak dia nggak sembarangan mengakhiri hidup. Lagian, aku pernah dengar dia ribut sama seseorang di telepon, seminggu sebelum kejadian."
 Alya merasa jantungnya berdetak lebih kencang. "Ribut sama siapa?"
 Sita mengangkat bahu. "Nggak tahu. Tapi suaranya keras, kayak dia marah banget. Aku cuma dengar sekilas pas antar anak ke sekolah."
 Alya mengangguk, tapi pikirannya sudah melayang ke surat di tangannya. Ia memutuskan untuk tidak menceritakannya pada Sita---belum, setidaknya. Di Puri Anggrek, sepertinya semua orang punya agenda sendiri, dan Alya tidak ingin menjadi orang yang ceroboh kali ini.
 Sore itu, saat Alya kembali ke garasi untuk melanjutkan beres-beres, ia mendengar suara langkah di trotoar. Ia menoleh dan melihat Lia Chandra berjalan dengan anggun menuju rumahnya, membawa tas belanja dari butik mahal.
 Tapi ada sesuatu di wajah Lia---ketegangan yang tak biasa, seperti seseorang yang menyembunyikan sesuatu. Alya teringat kata-kata Mira: "Perhatikan baik-baik tetanggamu." Apakah Lia tahu sesuatu tentang Mira? Atau apakah Alya hanya terbawa paranoia?