"Sepuluh tahun. Aku tahu kita sudah melawan banyak hal---badai, tembok restu orang tua yang membatasi cinta kita---tapi aku tak bisa memenangi pertarungan ini. Tubuhku, hatiku ... semuanya sudah menyerah. Kalau aku terus bertahan di sisimu, aku tahu hanya akan membuatmu hancur perlahan-lahan. Aku tidak mau menjadi alasanmu kehilangan kebahagiaan."
Suaranya bergetar dan dia tetap melanjutkan, "Kamu tahu bagaimana rasanya melihatmu setiap hari, penuh harapan, sementara aku tahu di dalam diriku, semuanya sedang runtuh? Rasanya seperti menusuk orang yang paling aku cintai dengan senyum di wajahku. Aku tidak kuat lagi. Aku tidak sanggup membuatmu terus menunggu sesuatu yang hanya akan berakhir di kekosongan."
Itulah alasan yang tidak mudah untuk diterima, dan sialnya, kami tidak pernah benar-benar bisa berjalan di jalur yang sama setelah itu. Walaupun aku masih berharap dan bahwa suatu hari nanti kami bisa kembali bersama, jika tak ada lagi penghalang di dunia ini, tetapi sepertinya itu sulit, sulit sekali, bahkan tidak ada kata lain kecuali kata tidak mungkin, sebab kenyataannya dia telah menyerah untuk berjuang.
Atas kejadian demikian, pengembaraanku justru membawaku ke tempat yang lebih rumit lagi, sebab hadirlah Suzanah Mustofa. Dia muncul ketika hidupku terasa seperti rawa---datar, gelap, dan nyaris tanpa tanda-tanda kehidupan. Kehadirannya membawa sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Namun, dia juga seseorang dengan kehidupan yang menyerupai mozaik kaca retak, absurd, atau lebih tepat disebut tragis.
Kehidupannya tidak pula jauh dari kumpulan luka batin yang tak berujung hingga pada akhirnya dia harus menjalani kehidupan keras dan liar sendirian. Meski dia kerap berbagi kisahnya tanpa ada ketakutan, tanpa keraguan, bahwa apa yang dia ceritakan itu merupakan aib penuh duri masa lalu, setiap kisahnya adalah bagian dari dirinya yang telah robek atas perlakuan banyak lelaki dan dia menjahitnya kembali dengan benang keberanian yang seolah-olah mengatakan kepada dunia bahwa dia tak akan tunduk pada penderitaan. Di balik semua itu, Suzanah Mustofa memiliki cara untuk membuatku tertawa lagi, tawa yang selama ini nyaris hilang sepenuhnya sejak Melia Andriani pergi. Pada Suzanah Mustofa, duniaku terisi lagi.
Namun, aku tahu, aku tidak akan bisa sepenuhnya melupakan Melia Andriani. Meski begitu, dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, bahwa akhirnya aku meminta Suzanah Mustofa menjadi kekasihku. Mungkin terdengar konyol, karena dia hanya sebagai penyembuh luka yang ditinggalkan Melia Andriani, tetapi aku membutuhkannya seperti seseorang butuh udara ketika tenggelam di dalam laut.
Suzanah Mustofa tahu tentang Melia Andriani. Aku sendiri yang menceritakannya. Itu terjadi sebelum kami menjalin hubungan serius. Saat itu, aku mencoba jujur. Kupikir, kejujuran itu bisa mengokohkan hubungan kami. Jadi, aku ceritakan semuanya: tentang Melia Andriani, tentang bagaimana Melia Andriani pernah menjadi pusat duniaku, dan tentang perih yang ditinggalkannya. Suzanah Mustofa mendengarkan. Dia menerima ceritaku dengan saksama. Saat itu, aku percaya bahwa penerimaannya adalah tanda bahwa kami akan baik-baik saja.
Kenyataannya, aku salah besar, keliru. Kata-kata itu, pengakuan itu, menjadi bom waktu yang meledak di setiap hubungan kami. Jujur, aku sendiri tidak pernah bisa meninggalkan hal-hal indah tentang Melia Andriani, tetapi bagi Suzanah Mustofa, hal itu lebih dari sekadar cerita masa lalu; Melia Andriani adalah ancaman kelam yang terus menguntit kami, menggerogoti kepercayaan Suzanah Mustofa, menciptakan kemarahan-kemarahan yang semakin sulit dikendalikan.
Setiap kali nama Melia Andriani mencuat---entah lewat kelalaianku, atau sesuatu yang tak disengaja---Suzanah Mustofa bereaksi seperti angin kencang yang menerjang tanpa aba-aba. Kadang-kadang, matanya berisi percikan lava yang tidak mampu dia sembunyikan. Kadang-kadang, suaranya meninggi, bergetar di antara serapah dan ketakutan. Bahkan, benda-benda pun ikut bergetar sebagai saksi dari gelombang emosinya. Cemburunya berlebihan, seperti bah, seperti badai yang menerjang di tengah ketenangan langit biru, lalu menghancurkan kedamaian pantai dengan gelombang besar yang tak diduga datangnya.
Aku hanya bisa menatap mata Suzanah Mustofa yang berkilat. Ada sesuatu yang bergolak di dalam dirinya, sesuatu yang tidak akan bisa aku padamkan dengan kata-kata. Dia mencintaiku seperti angin yang tak kenal arah, buas, dan memaksa aku untuk terus terisap ke dalam pusarannya. Suzanah Mustofa menginginkanku sepenuhnya, seolah-olah aku adalah miliknya yang tak bisa diganggu gugat.
Namun, Suzanah Mustofa bukanlah perempuan biasa yang mudah ditebak. Ada kalanya, wujud murkanya menyamar menjadi kasih sayang, terkadang dia mampu berubah menjadi sosok yang menenangkan, seakan-akan dia sendiri yang sedang mengukur batasnya.