Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Satu Sosok, Banyak Pelajaran

26 November 2020   13:21 Diperbarui: 26 November 2020   13:24 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay.com)

Saya sangat percaya, pola asuh orang tua khususnya seorang ibu, sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter buah hatinya. Seperti yang saya alami.

Saya merasa karakter yang terbentuk pada diri saya sedikit banyak dipengaruhi oleh pola asuh ibu. Pola asuh yang dapat dikategorikan ke dalam pola asuh otoriter. Pola asuh ini mengharuskan anaknya untuk terus patuh dan tidak membantah orang tua. Dulu, cara otoriter dianggap cara terbaik oleh orang tua. Ayah atau ibu menjadi sosok yang dominan dan memiliki kontrol penuh terhadap anak-anaknya. Saya tidak mengatakan pola asuhnya baik atau buruk. Namun, saya akan mengambil dampak kebaikannya saja. Semua itu baru terasa setelah saya benar-benar tidak tinggal lagi bersama orang tua, terlebih-lebih setelah saya berumah tangga dan memiliki anak.

Ibu saya seorang guru. Guru dalam arti yang sebenarnya. Guru sebagai jabatan profesional yang memiliki tugas pokok dalam proses pembelajaran di sekolah. Ibu pernah bercerita kalau guru adalah panggilan jiwanya. Profesi itu beliau jalankan sebelum menikah. Profesi yang sangat beliau cintai tanpa terhalang dengan kehadiran anak yang sudah berbilang empat. Satu yang aku salut darinya, Ibu bisa mengurus rumah dan keluarga meskipun beliau bekerja.

Tentang sekolah, ada yang menarik. Ibu tidak pernah menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tempat beliau mengajar. Setelah kami besar, beliau memberitahu alasannya. “ Ibu tidak ingin kalian menjadi istimewa di sekolah karena ada Ibu disana,” jelas beliau. Ternyata Ibu ingin agar kami bertanggung jawab atas nama kami sendiri. Bahkan, kakakku yang masih belum lancar membaca saat di kelas dua sekolah dasar, diminta Ibu untuk tetap tinggal kelas meskipun wali kelas kakak adalah teman Ibu sendiri.

“Belajar itu yang penting paham, bukan untuk mengejar cepat.” Begitu ulas Ibu.

Masalah pendidikan adalah hal yang utama diterapkan Ibu kepada kami. Belajar tidak boleh main-main. Ibu sangat marah jika hasil belajar kami mengecewakan. Oleh karena itu, kami selalu ditempa keras untuk hal ini. Sampai akhirnya, kami semua berhasil membanggakan diri beliau, menyelesaikan sekolah hingga ke perguruan tinggi dengan nilai memuaskan.

Dari kecil, Ibu memang sangat keras mendidik kami. Saya beserta ketiga saudara perempuan lainnya seperti dituntut harus menuruti apa yang menjadi perintahnya. Kami tidak boleh melawan karena melawan adalah sebuah tindakan ketidaksopanan, itu yang beliau camkan. Jika ayah atau Ibu marah atas sebuah kesalahan yang kami lakukan, kami tidak diperbolehkan untuk menjawab. Cukup diam dan dengarkan saja. Akan tetapi, seotoriter-otoriternya Ibu, beliau tetap mempunyai sisi lembut. Hanya, kelembutannya tidak digunakan untuk menoleransi kesalahan-kesalahan yang kami perbuat. Kesalahan tetap ada hukumannya tersendiri, sementara kelembutannya sebagai isyarat jika Ibu menerima permintaan maaf dan penyesalan dari anak-anaknya.  

Dalam hal menyampaikan keinginan, kami tidak dibiasakan menangis atau merengek-rengek. Ibu mengajarkan kami meminta dengan cara yang baik dan sopan. Jika permintaan belum terpenuhi, maka kami diminta bersabar. Begitu aturannya.

Ada kejadian yang saya ingat ketika berusia sekitar lima tahun. Saya menangis keras di depan sebuah toko mainan untuk sebuah boneka yang menarik hati. Hati Ibu tidak tergugah meskipun tangisan saya semakin kencang. Saya terus menangis, sementara Ibu tetap tidak peduli. Saat tiba di rumah, Ibu memuntahkan kemarahannya. Saya takut sekali. Sejak itu, saya tidak pernah berani lagi meminta sesuatu dengan cara menangis. Pelajaran yang akhirnya saya pahami setelah saya dewasa adalah bagaimana seorang ibu harus bersikap tegas. Ibu marah karena saya mengingkari sebuah perjanjian untuk tidak membeli mainan yang tidak ada ada dalam kesepakatan antara kami sebelum pergi. Hebatnya, hati Ibu tidak luluh walaupun saya menggunakan senjata menangis. Sikap tega dan tegas Ibu ini, saya adopsi dalam mendidik anak-anak saya. 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun