Mohon tunggu...
Shofwa Fathina
Shofwa Fathina Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Magister Akuntansi Angkatan 40 Universitas Mercubuana Tugas Mata Kuliah Pajak Internasional dan Pemeriksaan Pajak Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak Nama Mahasiswa : Shofwa Fathina NIM : 55521120001

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

K12_Diskursus Peradilan Pajak

17 November 2022   20:49 Diperbarui: 17 November 2022   20:54 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tahap Perkembangan Moral Kohlberg ; dokpri

Pajak merupakan pungutan wajib yang dibebankan kepada wajib pajak untuk setiap kegiatan ekonomi dengan tanpa timbal balik secara langsung. Pajak menjadi tonggak utama dalam penyelenggaraan suatu negara. Dana pajak digunakan oleh pemerintah untuk membayar gaji aparatur sipil, membangun sarana prasarana, membiayai fasilitas umum, serta program-program lain yang diselenggarkan pemerintah.

Polemik pemungutan pajak merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari sejak dahulu kala. Antara lain didukung oleh perasaan tidak puas masyarakat atas penggunaan dana pajak, perasaan ketidakadilan atas besaran pungutan pajak, serta kurangnya peran serta pemerintah dalam keterlibatan secara langsung menumbuhkan pengusaha kecil dan menengah. 

Masyarakat acapkali merasa harus berusaha sendiri untuk mencapai taraf ekonomi yang cukup dalam menjalani kehidupan. Ketika berada dalam keadaan yang berkecukupan, dihadapkan pada banyak kewajiban perpajakan yang harus dibayarkan. Di sisi lain, pemerintah merasa berhak memungut pajak kepada setiap warga negara (yang juga merupakan wajib pajak) untuk menopang pengeluaran negara. Kedua perbedaan pandangan ini riskan menimbulkan perselisihan dalam pemungutan pajak.

Self Assesment System dan Pemeriksaan Pajak

Indonesia menganut sistem pemungutan pajak self assessment system. Berdasarkan sistem self assessment, wajib pajak diharuskan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya sesuai perundang-undangan yang berlaku. Di sisi lain, wajib pajak dapat diperiksa oleh pejabat pajak yang berwenang atas kewajiban perpajakan yang telah dihitung, dibayar, dan dilaporkan. Kedua hal tersebut menimbulkan kontradiksi dalam pemungutan pajak. Apakah sebenarnya self assessment system adalah kepercayaan, ataukah jebakan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dalam bagian penjelasan umum menyatakan bahwa 'Pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat wajib pajak, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya sengketa pajak antara wajib pajak dan pejabat yang berwenang'. Pernyataan tersebut dapat memiliki dua penafsiran. Pertama, menurut aparatur pajak tidak sesuai dengan undang-undang perpajakan. Kedua, wajib pajak tidak menghitung, membayar, dan melaporkan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

Penafsiran pertama menyorot adanya perbedaan pemahaman antara wajib pajak dengan aparatur pajak mengenai kewajiban perpajakan yang seharusnya dilaksanakan. Pada kasus ini, wajib pajak telah melakukan kewajiban perpajakan sesuai kegiatan ekonomi dan peraturan perundangan yang dipahami. Akan tetapi, aparatur pajak menemukan ketidaksesuaian akan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan, dengan aturan yang seharusnya. Adapun penafsiran kedua, memang terdapat penyelewengan yang dilakukan wajib pajak. Meskipun tampak mirip, kedua perbedaan penafsiran tersebut berbeda dan menghasilkan respon yang berbeda pula atas kewajiban perpajakan.

Wajib pajak dengan pemahaman akan penafsiran pertama, tidak bermaksud melakukan penggelapan, penyelewengan atau penghindaran pajak. Hanya saja, mungkin kurang memahami atau tidak mengetahui regulasi terbaru. Wajib pajak dengan penafsiran kedua bisa jadi justru sangat memahami seluk beluk regulasi perpajakan sehingga mampu melakukan penggelapan atau penghindaran pajak dengan rapi.

Kritik Etika Publik

Pada ranah kehidupan bernegara, warga negara maupun pemerintah memiliki lingkup kepentingannya masing-masing. Warga negara sebagai masyarakat umum berada dalam lingkup kebutuhan untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Ranah privat (res pivata) manusia sebagai individu ialah memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan mendasar berupa pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Untuk mencapai standar kehidupan yang baik, setiap individu berusaha dengan bekerja dan memperoleh timbal balik ekonomi yaitu berupa upah atau gaji.

Pemerintah berada dalam ranah publik (res publica) dengan lingkup kehidupan dan keberlangsungan seluruh negara. Seluruh negara terdiri dari jutaan manusia dengan berbagai taraf kehidupan dan kemampuan. Negara sebagai ranah publik memikirkan tidak hanya kesejahteraan individu, melainkan seluruh individu. Pemerataan kesejahteraan antara lain berusaha dicapai melalui pembangunan ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, peningkatan pelayanan fasilitas umum, dan banyak hal lainnya.

Guna mencapai kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara melalui pemerataan keterjangkauan fasilitas, negara memerlukan dana. Dana tersebut diperoleh melalui pemungutan pajak kepada wajib pajak (warga negara). Pemerataan kesejahteraan diharapkan dapat terwujud sehingga setiap warga negara telah tercukupi kebutuhan dasarnya. Selanjutnya, setelah kebutuhan dasar tercukupi, individu dapat mengembangkan diri hingga mencapai taraf ekonomi tertentu dan dikenakan lebih banyak pungutan pajak. Misalnya berupa pajak penghasilan pasal 21 yang memiliki tarif progresif untuk setiap jenjang kenaikan gaji. Ranah privat (res pivata) dan ranah publik (res publica) bersifat timbal balik dan saling membutuhkan.

Akan tetapi, untuk mencapai hubungan timbal balik yang didasari oleh sukarela, memerlukan tahapan yang cukup panjang. Teori Lawrence Kohlberg, yang didasarkan pada teori Piaget, mengembangkan teori moralisasi perkembangan kognitif (cognitive-developmental theory of moralization). Mayoritas ahli psikologi beranggapan bahwa pikiran moral merupakan proses sosial. Berbeda dengan Piaget yang memberikan asumsi bahwa nalar (cognition) dan perasaan  (affection) berkembang secara paralel. Selanjutnya, Piaget berasumsi bahwa keputusan moral merupakan pengembangan kognisi secara alami.

Kohlberg meneliti permasalahan filosofis yang mendasar sebagai inti pengembangan teori moral. Permasalahan filosofis tersebut misalnya mempertanyakan definisi konstruksi yang adil dalam suatu kelompok masyarakat. Kohlberg juga beranggapan bahwa pembahasan mengenai moralitas beserta perkembangannya hendaknya senantiasa bersisian dengan masalah relativitas moral dan nilai-nilai yang netral. Kematangan moral juga menjadi pertimbangan dalam menentukan tingkat kebenaran suatu hal.

Enam tahapan perkembangan moral Kohlberg dijabarkan sebagai berikut :

Tingkat I

Tahap 1 : Moralitas Heternomus. Pada tahapan ini, perilaku moral dalam bentuk kepatuhan didasarkan karena adanya ketakutan akan hukuman.

Tahap 2 : Individualisme tujuan dan pertukaran instrumental. Pada tahapan ini, anggapan baik ditentukan dari terpenuhinya kepentingan pribadi.

Tingkat II

Tahap 3 : Hubungan antar pribadi yang selaras saling timbal balik. Basis penilaian moral pada kepercayaan, kasih sayang, kesetiaan, dan penghargaan.

Tahap 4 : Moralitas sistem sosial. Hukum masyarakat merupakan penentu terpenuhinya kebaikan. Penjagaan terhadap tatanan sosial memerlukan penegakan aturan dan hukum.

Tingkat III

Tahap 5 : Kontrak sosial dan hak-hak individual. Kesepakatan masyarakat atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip menjadi tolak ukur kebaikan. Hukum harus diubah jika tidak sesuai nilai dan prinsip masyarakat.

Tahap 6 : Prinsip-prinsip etika universal. Pada tahapan ini, nilai-nilai universal dan hak-hak manusia berada di atas aturan-aturan dan hukum sosial.

Penutup

Pembahasan mengenai perbedaan pandangan antara wajib pajak dan aparatur pajak akan terus muncul selama negara masih berdiri. Setiap pihak dapat mempertahankan argumentasi masing-masing dengan dukungan dokumen dan pemahaman akan aturan yang mendukung. Selanjutnya, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Bagian Kedua tentang Kedudukan Pasal 2 yang menyatakan bahwa 'Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak'. Atas pernyataan tersebut, wajib pajak atau penanggung pajak dapat menyimpan harapan bahwa keadilan akan tercapai.

Referensi

Prof. Apollo. Bahan kuliah FEB PPS Maksi UMB. Fenomena dan Paradoks Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 : Pengadilan Pajak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

https://serupa.id/teori-perkembangan-moral-menurut-kohlberg-dilema-tahap/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun