Mohon tunggu...
Putri Shifa Rahmadini
Putri Shifa Rahmadini Mohon Tunggu... Mahasiswa

I am a student of the Sociology Education program at Universitas Negeri Jakarta who has an interest in social issues and is enthusiastic about understanding the role of education in advancing society.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngonten Demi Cuan: Ketika Budaya Kerja Bergeser jadi Budaya Viral

6 Juli 2025   19:15 Diperbarui: 6 Juli 2025   19:15 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena "ngonten demi cuan" bukan sekadar tren di mana anak muda mencoba menghasilkan uang melalui media sosial. Lebih dari itu, fenomena ini mencerminkan persoalan sosial yang jauh lebih kompleks. Tidak semua orang memiliki peluang yang sama untuk menjadi kreator konten yang sukses. Ketimpangan dalam akses terhadap teknologi, jaringan sosial, dan literasi digital menyebabkan sebagian besar keuntungan justru mengalir ke platform digital dan korporasi besar. Sementara itu, para kreator hanya menikmati sebagian kecil dari nilai ekonomi yang mereka ciptakan.. Kondisi Ini menunjukkan ketidaksetaraan pergeseran kelas dalam kerangka kapitalisme di dunia digital, sebuah realitas baru yang membantu membentuk budaya kerja generasi muda saat ini.

Popularitas platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram menjadi bukti nyata dari pergeseran ini. Media sosial tak lagi hanya menjadi ruang bersosialisasi, tetapi juga menjadi ladang kerja, tempat membangun personal branding, menjangkau audiens, dan meraih penghasilan. Banyak anak muda yang menjadikan aktivitas membuat konten sebagai pekerjaan utama karena menawarkan fleksibilitas waktu, potensi penghasilan besar, serta peluang untuk dikenal publik secara luas.

Di sisi lain, fenomena ini juga menjadi tantangan bagi pendidik. Seberapa responsif sistem pendidikan kita terhadap dunia yang cepat dan semakin digital? Masih ada banyak sekolah yang terjebak pada kurikulum kuno yang tidak mempersiapkan siswa dengan keterampilan media digital, etika penggunaan media, atau bahkan wawasan mendalam tentang dunia profesional yang menanti mereka. Akibatnya, terlalu banyak orang muda yang terjun ke dunia kreasi konten tanpa persiapan yang cukup secara mental, etis, dan sosial.

Di balik daya tarik budaya viral ini, tersimpan pula problematika sosial yang patut disoroti. Ada kecenderungan untuk mereduksi nilai kerja menjadi sekadar sarana untuk meraih viralitas dan cuan. Nilai-nilai seperti kerja keras, proses panjang dalam membangun karier, dan etos profesional perlahan tergeser oleh budaya instan dan pencitraan. Bahkan, tidak jarang konten yang melanggar norma sosial, etika, atau privasi demi mendapatkan perhatian dan keuntungan.

Karena itu, perlu ada sinergi antara sekolah, pemerintah, dan masyarakat untuk membangun lingkungan digital yang lebih sehat dan suportif. Literasi digital bukan lagi pelengkap, melainkan kebutuhan mendesak. Pendidikan vokasi berbasis digital, pelatihan menjadi kreator konten yang bertanggung jawab, serta dukungan psikososial perlu dihadirkan sebagai bagian dari upaya membangun generasi yang tidak hanya kreatif dan produktif, tetapi juga bijak dan berdaya secara sosial.

Fenomena "ngonten demi cuan" layak dianalisis sebagai refleksi dari perubahan budaya kerja di era digital, dengan memperhatikan berbagai peluang, tantangan, serta dampak sosial yang mengikutinya. Melalui pendekatan sosiologis dan refleksi pendidikan, kita dapat melihat bagaimana struktur masyarakat, nilai budaya, dan dinamika sosial saling membentuk dan dipengaruhi oleh fenomena digital ini. Perubahan ini bukan semata soal teknologi, melainkan juga tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, mendefinisikan ulang makna keberhasilan, pekerjaan, dan identitas diri di era yang serba terbuka ini.

Analisis Sosiologis terhadap Fenomena 'Ngonten Demi Cuan' dalam Budaya Kerja Generasi Muda

Dari perspektif fungsionalisme yang dipelopori oleh Emile Durkheim dan dikembangkan oleh Talcott Parsons, profesi konten kreator dipandang sebagai adaptasi baru masyarakat terhadap perubahan struktur sosial di era digital. Profesi ini memiliki beberapa fungsi penting, di antaranya sebagai sumber pendapatan baru bagi individu maupun industri (fungsi ekonomi), sebagai penyedia hiburan, informasi, dan edukasi bagi masyarakat luas (fungsi sosial), serta sebagai sarana bagi individu untuk mengekspresikan jati diri dan memperoleh pengakuan sosial (fungsi identitas). Namun, fungsionalisme juga menyoroti adanya disfungsi sosial yang muncul ketika konten hanya difokuskan untuk viralitas dan keuntungan finansial. Disfungsi ini terlihat dari maraknya penyebaran informasi hoaks demi engagement, normalisasi gaya hidup konsumtif dan hedonistik, serta pergeseran nilai kerja keras yang digantikan oleh budaya instan.

Sementara itu, perspektif konflik yang dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx melihat fenomena konten kreator sebagai bagian dari pertarungan kelas dalam kapitalisme digital. Dalam sistem ini, platform seperti YouTube dan TikTok menciptakan struktur di mana kreator bekerja keras menghasilkan konten, namun sebagian besar keuntungan tetap dikendalikan oleh korporasi platform (eksploitasi digital). Selain itu, kesenjangan akses juga menjadi masalah, di mana hanya mereka yang memiliki modal ekonomi dan sosial yang lebih mudah mencapai kesuksesan, sedangkan individu dari kalangan bawah sering kali terpinggirkan akibat keterbatasan teknologi, waktu, atau sumber daya. Di sisi lain, komodifikasi diri juga terjadi ketika identitas, emosi, dan kehidupan pribadi kreator dijadikan komoditas demi tontonan, bahkan kadang tanpa disadari mengeksploitasi diri sendiri demi popularitas dan keuntungan.

Dari sudut pandang interaksionisme simbolik yang dikembangkan George Herbert Mead dan Herbert Blumer, profesi kreator konten tidak hanya dilihat sebagai aktivitas ekonomi, tetapi juga sebagai proses pembentukan makna dan identitas melalui interaksi simbolik di dunia digital. Jumlah followers, likes, dan views kini menjadi simbol status sosial baru, di mana identitas seseorang dibentuk dan diakui melalui eksistensi digital. Namun, tekanan untuk selalu tampil sempurna, produktif, dan relevan sering kali menimbulkan beban performatif yang berat. Ketika ekspektasi digital tidak sejalan dengan kenyataan, banyak kreator konten mengalami krisis diri, gangguan kesehatan mental, kecemasan sosial, hingga kelelahan psikologis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun