Mohon tunggu...
Sheyla Novitri
Sheyla Novitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Psikologi Universitas Sebelas Maret

Hallo, saya Sheyla Novitri Citra Mayaratama. Saat ini saya tengah menempuh program pendidikan sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sebelas Maret. Saya memiliki hobi menulis. Hobi tersebutlah yang mendorong saya untuk menulis di platform Kompasiana ini. Semoga Anda sekalian menyukai tulisan saya dan mendapat informasi baru dari tulisan yang saya publikasikan. Salam hangat, Sheyla.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosial Media: Sumber Prasangka Terbesar

28 Desember 2023   16:47 Diperbarui: 28 Desember 2023   23:20 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini, umat manusia telah memasuki era globalisasi. Era globalisasi adalah sebuah era di mana di dalamnya terjadi suatu perubahan secara global yang disebabkan oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.  Perkembangan IPTEK tersebut membawa banyak terobosan dalam dunia sosial manusia. Salah satunya adalah hadirnya media sosial elektronik yang membantu manusia lebih cepat menerima informasi.

Namun, kecepatan tersebut juga rupanya berdampak negatif pada keberlangsungan hidup dan interaksi sosial masyarakat. Di media sosial, netizen seringkali menelan mentah-mentah dan langsung percaya pada suatu isu yang belum tentu kebenarannya. Istilah lainnya, masyarakat Indonesia sering termakan hoax yang dibuat oleh para media. Berita burung tersebut dapat membentuk prasangka sosial dalam diri masyarakat terhadap suatu permasalahan yang diusung, di mana individu sering kali menilai sesuatu berdasarkan pada yang ia lihat dan baca di media sosial tanpa melihat kebenaran yang ada.

Menurut Baron dan Bryne (2004), prasangka didefinisikan sebagai suatu sikap yang umumnya bersifat negatif terhadap individu dalam suatu kelompok, semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut, dan cenderung menilai anggota tersebut dengan cara yang seragam (biasanya secara negatif). Sedangkan menurut Kossen (1986), prasangka sosial merupakan fenomena internal yang mendorong pengambilan tindakan prahukum atau pengambilan keputusan berdasarkan bukti yang tidak cukup. Allport juga mengatakan (dalam Zanden, 1984), prasangka sosial adalah sikap membenci kelompok tertentu tanda didasari alasan yang jelas dan objektif.

Menurut Brigham (1991), prasangka sosial terlihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial, di mana kategori sosial mencerminkan kecenderungan untuk membagi masyarakat menjadi dua kelompok, yakni kelompok kita atau "in-group" dan kelompok mereka atau "out-group". In-group adalah kelompok sosial yang individu merasa tergabung atau memiliki afiliasi, sementara out-group adalah kelompok di luar afiliasi individu, yaitu kelompok orang lain yang berada di luar dirinya. Ciri-ciri prasangka muncul berdasarkan penguatan perasaan terhadap in-group dan out-group,yaitu:

1. Proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok;

2. Adanya kompetisi sosial;

3. Adanya penilaian yang ekstrim terhadap anggota kelompok lain;

4. Dipengaruhi oleh persepsi selektif dan ingatan masa lalu;

5. Dipengaruhi oleh perasaan frustrasi (scope goating); dan

6. Terdapat agresi antarkelompok atau antar individu.

Prasangka sosial ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya:

1. Kompetisi. Berdasarkan teori realistic conflic, prasangka muncul karena adanya kompetisi antarkelompok sosial. Kompetisi tersebut dapat berkembang menjadi kebencian, prasangka, dan dasar emosi. Kompetisi yang berlangsung secara terus menerus akhirnya menimbulkan pandangan negatif terhadap pihak yang bersebrangan.

2. Pengalaman awal. faktor ini sesuai dengan learning theory, di mana prasangka dipelajari dan berkembang dengan cara yang sama seperti sikap-sikap manusia lainnya melalui pengalaman dan observasi.

3. Kategorisasi sosial. Manusia seringkali mengelompokkan sesuatu menjadi in-group dan out-group. In-group diangkap sebagai kelompok yang memiliki kesamaan, seringkali disebut "kita". Sedangkan out-group adalah kelompok yang bersebrangan, seringkali disebut "mereka". Manusia akan cenderung memiliki pandangan yang lebih baik kepada orang-orang yang berada dalam in-group.

4. Mekanisme kognitif lain dalam prasangka. Individu yang memiliki kecenderungan melebih-lebihkan penilaian pada kelompok yang relatif kecil (penilaiannya biasanya bersifat negatif).

5. Sumber kognitif sosial. Faktor ini meliputi stereotip eksplisit dan implisit. Stereotip adalah suatu kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pemahaman dan keyakinan terkait dengan kelompok sosial tertentu serta sifat-sifat khusus yang mungkin dimiliki oleh individu yang menjadi bagian dari kelompok-kelompok tersebut.

Banyaknya berita burung di platform media sosial seperti Instagram, X (sebelumnya disebut Twitter), Facebook, dan media sosial lain tampaknya memberi makan ego netizen untuk berprasangka negatif. Prasangka negatif yang telah terbentuk tersebut akhirnya keluar dalam bentuk komentar-komentar pedas dan caci maki terhadap subjek maupun objek dari permasalahan yang diusung. Hate speech adalah ujaran kebencian yang sering kita temui di media sosial. Berawal dari prasangka negatif yang dituangkan penulis ke dalam bentuk kalimat paragraf, tulisan mereka pun akhirnya membentuk prasangka negatif baru dalam diri pembaca yang membaca tulisan mereka. Seperti lingkaran setan yang tak kunjung menemukan ujungnya.

Contohnya adalah kasus kekerasan seksual yang menyeret mahasiswa anggota BEM UNY, MF. Saat itu, beredar berita burung yang belum jelas kebenarannya. Namun, netizen langsung percaya oleh tulisan seseorang yang mengaku sebagai teman korban. X pun saat itu ramai oleh cacian dan hinaan, serta berbagai editan foto milik MF secara tak senonoh. Berbagai hinaan tersebut hadir sebagai bentuk nyata dari prasangka negatif yang sudah dimiliki masyarakat terhadap MF. Masyarakat telah membuat stereotip bahwa pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang yang kejam dan pantas mendapatkan sanksi sosial.   MF yang saat itu posisinya adalah sebagai terduga pelaku kekerasan seksual pun tidak dapat menghindari stereotip tersebut. Setelah diusut secara hukum atas permintaan MF sendiri, kasus tersebut pun dinyatakan tidak benar. MF dinyatakan tidak bersalah  dan hanya difitnah. Namun, MF sudah terlanjur menerima sanksi sosial atas tindakan yang sebenarnya tidak ia lakukan.

Contoh lainnya yang masih marak ditemui adalah ujaran rasisme, yaitu sebuah prasangka, diskriminasi, dan antagonisme yang ditujukan kepada individu berdasarkan kelompok mereka, biasanya dilihat dari kelompok ras tertentu. Rasisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang telah di bahas di atas, salah satunya adalah kategorisasi sosial di mana manusia akan merasa nyaman dengan orang-orang yang berada dalam in-group-nya dan merasa tidak nyaman dengan orang-orang yang berada di out-group. Orang-orang yang memiliki ras berbeda dengannya dikategorikan sebagai out-group yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa tidak nyaman tersebut akhirnya berkembang menjadi sebuah prasangka atau penilaian negatif terhadap suatu ras yang bukan in-groupnya. Rasisme juga dapat disebabkan oleh stereotip. Pada tahun 1933, Katz dan Braly (dalam Maryam, 2019) mengemukakan bahwa mahasiswa kulit putih biasa memandang orang kulit putih Amerika sebagai orang-orang yang cerdas, rajin, dan ambisius. Sedangkan orang Afrika-Amerika dipandang sebagai orang-orang malas, bahagia, dan orang-orang bodoh yang percaya takhayul.

Prasangka sosial sendiri sebenarnya bisa diatasi. Ada beberapa cara mengatasi prasangka sosial, yaitu:

1. Mengadakan direct intergroup contact yang juga dikemukakan oleh Allport dalam teori kontak.  Kontak secara langsung dan berkelanjutan dapat mengurangi prasangka negatif.

2. Mengadakan kerja sama atau cooperative interdependence antara anggota kelompok yang memiliki prasangka dan anggota kelompok lain.

Mengikuti perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang seperti pisau bermata dua ini, pemahaman kita terhadap suatu yang patut dan tidak patut juga harus ikut berkembang. Dalam etika bersosial media, kita sebagai konsumen tulisan-tulisan di media sosial harus bisa memilah mana tulisan yang "pantas dibeli" dan mana tulisan yang "tidak pantas untuk dibeli". Jangan sampai tulisan-tulisan yang ada di media sosial membentuk prasangka negatif dalam diri kita terhadap suatu permasalahan tanpa bukti yang cukup jelas. Dalam posisi sebagai penulis, kita juga harus berhati-hati dengan apa yang kita tulis. Jangan sampai tulisan kita menjadi sumber terbesar timbulnya prasangka negatif.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun