Kita mungkin sudah tahu bahwa marah adalah emosi yang umum dirasakan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui berbagai bentuk kemarahan baik di lingkungan kerja, keluarga, maupun media sosial. Mulai dari bentakan kecil hingga ledakan emosi besar.
Marah tampaknya menjadi respons yang "normal" yang kerap dialami individu dalam situasi tertentu dalam mengungkapkan perasaan negatifnya. Namun marah dapat dianggap negatif ketika tidak di kontrol sehingga menimbulkan berbagai masalah baru. Tapi, tahukah kamu bahwa marah bukanlah emosi utama? Banyak orang tidak menyadari bahwa marah sering kali muncul karena ada emosi lain dibaliknya. Untuk mengontrolnya, kamu perlu mengetahui terlebih dahulu emosi apa dibalik marahmu.
Marah sebagai Secondary Emotion
Kemarahan adalah emosi yang dapat dipicu oleh berbagai faktor. Beberapa penyebabnya adalah konflik mendalam yang belum terselesaikan dan belum ditangani. Marah sering muncul sebagai pelindung dari emosi yang lebih dalam. Kita merasa lebih nyaman menunjukkan marah karena itu tampak lebih kuat dan 'aman', dibandingkan menunjukkan kesedihan, rasa takut, atau kerentanan.
Bayangkan jika teman Anda menegur Anda secara langsung di depan umum karena melakukan suatu kesalaha. Perasaan awal Anda mungkin malu dan tersinggung karena merasa harga diri Anda direndahkan di hadapan orang lain. Namun, alih-alih mengakui rasa malu tersebut, Anda mungkin langsung merasa marah dan membalas dengan suara tinggi. Dalam hal ini,amarah menjadi pelindung dari rasa malu dan rasa tidak dihargai.
Bagaimana Mengelola Marah Secara Sehat?
Agar kita bisa merespons emosi dengan cara yang sehat, penting untuk bertanya pada diri sendiri:
Apa yang sebenarnya aku rasakan sebelum aku marah?
Apakah aku merasa disakiti, dikecewakan, diabaikan, atau takut?
Apakah kemarahanku ini menyembunyikan kebutuhan yang tidak terpenuhi?
Dengan memahami diri sendiri, kita bisa menelusuri akar emosi dan mengelolanya dengan cara yang lebih tepat.
Marah Bukan Musuh, Tapi Petunjuk
Marah bukanlah emosi yang harus ditolak atau ditahan, tapi juga bukan satu-satunya emosi yang perlu didengarkan. Marah sering kali menjadi sinyal bahwa ada emosi yang lebih dalam yang belum tertangani. Dengan memahami bahwa marah adalah emosi sekunder, kita bisa lebih bijak dalam merespons situasi dan menjaga hubungan yang sehat dengan diri sendiri maupun orang lain. Menyadari, menerima, dan mengelola emosi dengan baik bukan hanya bentuk kedewasaan emosional, tapi juga langkah penting untuk kesejahteraan psikologis kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI