Mohon tunggu...
Jinnieyyaaa
Jinnieyyaaa Mohon Tunggu... Fighting

Annyeong

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Coba Lihat Aku

18 September 2025   00:37 Diperbarui: 18 September 2025   00:43 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Ilustrasi (sumber: pinterest))

Ada kalanya, hidup terasa begitu menyesakkan. Tuntutan demi tuntutan seolah tak pernah berhenti menghampiri, selalu ada saja yang kurang di mata mereka. Setiap langkah yang diambil, setiap usaha yang dikerahkan, seolah tak pernah cukup untuk memenuhi ekspektasi yang ada. Ironisnya, ketika segala daya upaya telah dicurahkan, kritikan pedas justru yang diterima, seolah jerih payah ini tak ada artinya.

Beban semakin terasa berat ketika urusan keluarga turut membebani pundak. Niat hati membantu meringankan beban mereka, namun yang terjadi justru sebaliknya. Tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, malah berubah menjadi sebuah deadline yang mencekik. Janji kesuksesan yang diutarakan, seolah menjadi harga mati karena telah menguras isi kantong mereka. Padahal, dalam lubuk hati yang terdalam, tak pernah terlintas niatan untuk meminta biaya sebesar itu.

Kemarahan demi kemarahan terus menghantui, seolah kegagalan adalah sebuah dosa besar yang tak termaafkan. Padahal, jika tugas tersebut gagal diselesaikan, amarah yang sama juga akan menimpa diri ini. Sungguh sebuah situasi yang serba salah, di mana setiap pilihan yang diambil selalu berujung pada konsekuensi yang tak menyenangkan. Perlakuan pilih kasih pun seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup ini, membekas sejak kecil hingga menjelang dewasa.

Di antara saudara-saudara yang lain, mungkin diri ini memang tak memiliki banyak teman atau kemampuan beradaptasi yang mumpuni. Jumlah teman pun tak lebih dari sepuluh jari, dan itupun tak ada satu pun yang benar-benar bisa dipercaya untuk berbagi keluh kesah. Rasa iri membuncah ketika melihat orang lain bisa tertawa riang bersama teman-teman, berfoto di studio, jalan-jalan, dan makan bersama. Hal-hal sederhana yang seolah menjadi kemewahan yang tak terjangkau.

Bahkan, untuk beradaptasi di lingkungan kerja pun terasa begitu sulit. Kesempatan untuk bekerja di sana pun didapatkan karena menggantikan posisi saudara. Meskipun rekan kerja bersikap baik, namun tetap saja ada tembok yang menghalangi untuk berinteraksi lebih dekat. Ketakutan untuk salah bicara karena membawa nama saudara, menjadi penghalang utama untuk membuka diri. Persepsi orang lain bahwa diri ini bisa bekerja di sana hanya karena koneksi keluarga, semakin memperburuk keadaan.

Sebenarnya, ada keinginan yang membuncah untuk bisa ikut mengobrol dan berbaur dengan mereka. Namun, kesan pertama yang terlanjur melekat sebagai sosok pendiam, membuat orang lain menilai diri ini sebagai pribadi yang tidak asyik. Pernah suatu kali mencoba untuk mendekat dan ikut dalam percakapan, namun respon dingin yang diterima membuat hati mencelos. Bahkan, ketika ingin duduk di dekat seseorang, orang tersebut malah menjauh di depan mata orang banyak. Rasa malu yang mendalam, menjadi pengalaman traumatis yang membuat diri ini semakin menutup diri. Mereka seolah tak menyukai kehadiran ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun