Ide utama Epictetus berfokus pada pemisahan yang jelas antara hal-hal yang dapat dan tidak dapat kita kendalikan. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada hal-hal di luar diri kita, tetapi pada cara kita merespons dan menilai hal-hal tersebut. Epictetus membagi realitas menjadi dua bagian: hal-hal yang dapat kita kendalikan (seperti pikiran dan penilaian kita) dan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan (seperti uang, ketenaran, dan apa yang dipikirkan orang lain). Poin utama ajarannya adalah bahwa orang menemukan kebahagiaan dengan sepenuhnya fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan dan menerima dengan damai hal-hal yang tidak dapat kita ubah.
Ide Nietzsche tentang "Amor Fati" (mencintai apa yang terjadi) adalah cara terbaik untuk mengatakan "ya," melampaui sekadar menerima apa yang datang; ia mengajarkan kita untuk mencintai semua aspek kehidupan---bahkan masa-masa sulit dan sedih---sebagai hal yang indah dan penting, menjadikan cinta ini sebagai cinta terdalam terhadap kehidupan yang kita jalani. Ide ini diperkuat oleh hubungannya dengan pemikiran filsuf Democritus tentang atomos ("tidak dapat dibagi"), di mana Nietzsche mengatakan bahwa seperti atom, kehidupan harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh, tidak boleh dibagi atau dipisahkan menjadi "bagian baik" dan "bagian buruk." Jadi, "Amor Fati" adalah tingkat pemikiran positif yang sangat tinggi yang menolak cara lama menilai benar dan salah, dan menegaskan bahwa semua bagian kehidupan, dengan segala naik turunnya, harus diterima sebagai satu realitas tunggal yang tidak dapat dipisahkan.
Ide-ide Nietzsche tentang "The Will to Power," "Ja Sagen," dan "Amor Fati" dapat sangat membantu saat menghadapi masa-masa sulit, seperti ketika seseorang tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Alih-alih hanya merasa hancur, marah, atau menyalahkan nasib, menggunakan "Ja Sagen" dan "Amor Fati" membantu orang tersebut berkata, "Ini adalah bagian dari apa yang sedang saya alami. Aku akan menghargai peristiwa ini sama seperti aku menikmati kemenangan-kemenanganku.
William James (1842--1910), seorang Filsuf serta Psikolog asal Amerika, memperkenalkan sebuah "ledakan epistemologi" yang berbeda dari pandangan Stoik maupun Amor Fati yang diajukan oleh Nietzsche. Dasar dari teorinya merupakan ide revolusioner yang menyatakan bahwa keyakinan dapat mendahului bukti, serta bahwa kepercayaan memiliki potensi untuk menciptakan realitas. Sementara filosofi Stoik dan Nietzsche menitikberatkan pada kebijaksanaan dalam menghadapi kenyataan yang ada, James justru mendorong keberanian untuk membentuk realitas baru. Dengan demikian, hal yang mengejutkan dalam pemikiran James adalah fokusnya tidak pada penerimaan atau cinta terhadap takdir, melainkan pada kapasitas individu untuk merancang takdirnya sendiri lewat keyakinan.
Filosofi William James revolusioner: berlawanan dengan Stoikisme (penerimaan) dan Nietzsche (cinta nasib), James menegaskan "Nasib dapat diciptakan." Melalui prinsip "The Will to Believe," ia memotivasi kita untuk menjadi arsitek realitas. Baginya, keyakinan adalah tindakan kreatif yang membentuk kebenaran, bukan sekadar menunggu bukti. Intinya: kita menciptakan bukti yang kita jalani, alih-alih hanya mencari kepastian.
Filosofi William James berfokus pada kekuatan keyakinan tulus untuk merevisi dan membentuk realitas ("Menciptakan badaimu sendiri"), bukan sekadar menerima kesulitan (Stoa) atau mengaguminya (Nietzsche). James mengajarkan bahwa dengan meyakini makna bahkan saat menghadapi krisis, keyakinan internal tersebut akan secara aktif menciptakan makna baru di dunia luar. Pendekatan ini adalah pemikiran produktif yang mendalam, menekankan bahwa keajaiban dibentuk dari dalam diri, dan menuntut keberanian untuk memilih percaya sebelum ada bukti nyata.