Mohon tunggu...
F. Sugeng Mujiono
F. Sugeng Mujiono Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepasang Lansia dan Seorang Perawan Tua (Kasih Tak Sampai 2)

5 Juni 2021   23:31 Diperbarui: 6 Juni 2021   00:15 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Watik, jangan sok pintar kamu," suara ayah begitu mengagetkan. "Kamu berani menggurui ibumu, juga ayahmu ya."

 Aku dan Ibu tidak menyangka, diam-diam Ayah telah mengikuti pembicaraan kami. Mukanya merah padam. Bibirnya bergetar.

 "Jangan bikin malu keluarga," Ayah melanjutkan. "Ayah sudah katakan, jangan teruskan hubunganmu dengan Ichsan. Tapi kamu memang keras kepala. Kamu korbankan keluarga demi cintamu yang sombong itu. Kamu mengandalkan perasaanmu sendiri, terlalu congkak dengan ilmumu, sehingga harus mengorbankan keyakinan. Sebagai anak sulung, seharusnya kamu menjadi contoh bagi adik-adikmu."

 "Sabar Ayah," Ibu menyela.

 "Sabar bagaimana?" sahut Ayah lagi. "Ini salah Ibu juga, terlalu sabar. Terlalu memberi hati kepada Watik dan Ichsan. Begini jadinya. Saya katakana, jangan lagi Ichsan ke rumah ini, apalagi untuk melamarmu. Ayah tidak mau. Sekarang Watik tinggal pilih, ikut Ichsan atau menuruti kata Ayah. Kalau ikut Ichsan, tinggalkan ayah!"

 "Ayah ...!!!" pekik Ibu. Aku dan Ibu tak bisa membendung emosi. Kami saling berpelukan sambil menangis sejadi-jadinya. Sementara Ayah meninggalkan kami berdua.

 Sejak peristiwa itu, kepalaku pusing tak berkesudahan. Aku tak lagi bergairah melakukan kegiatan. Ke kantor pun enggan. Aku tak tahu, sudah berapa hari tidak masuk kantor.

 "Watik, janganlah larut dalam kesedihan," Ibu menghibur. "Jangan putus asa. Berangkatlah ke kantor, bekerja seperti bisa. Kuatkan hatimu, jangan hancurkan masa depanmu."

 Aku tak menjawab. Ibu membujuk untuk mempertimbangkan kembali pilihanku. Tak sepatah pun aku berucap. Aku merasa, masa depanku sudah hancur dengan vonis Ayah itu. Sebenarnya Ibu bisa memahami, tapi tak mampu memberikan pemahaman kepada Ayah. Tak ada kata-kata yang bisa mewakili maksud hati Ibu.

 Aku pun tak punya pilihan. Cinta yang telah lama bersemi, tak mungkin kukhianati. Tetapi tak mungkin pula melawan kehendak Ayah. Tak ada kata-kata yang bisa kuungkapkan agar Ayah bisa memahami keadaan ini.

 Aku pusing lagi. Tak kusadari, air mata mengucur deras membasahi tangan Ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun