Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nostalgia Nonton Siaran TVRI di Halaman Kecamatan

13 November 2022   20:10 Diperbarui: 14 November 2022   10:16 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ada pertunjukan layar tancap, anak-anak biasanya sudah berdandan rapi jali sejak sore hari. Tak sabar ingin melihat kemeriahan dan keseruan film layar tancap. Di pagi hari, beberapa anak kembali ke lapangan. Untuk apa? mencari uang milik penonton yang jatuh di lapangan, he he.

Ilustrasi anak-anak menonton televisi pada zaman dahulu. (Foto Facebook.com/Backpacker Nusantara)
Ilustrasi anak-anak menonton televisi pada zaman dahulu. (Foto Facebook.com/Backpacker Nusantara)

Saat listrik mulai masuk desa, satu dua warga mulai memiliki pesawat televisi. Saya agak lupa apakah televisi di kantor kecamatan masih sering disetel. Yang jelas, tiap sore saya dan teman-teman beralih menonton televisi ke rumah tetangga.

Untung saja waktu itu tetangga yang memiliki pesawat televisi mau bermurah hati dan bersabar membukakan pintu bagi anak-anak dan warga yang ingin ikut menonton televisi. Bahkan pemilik rumah kadang memberi kami cemilan.

Listrik masuk desa perlahan juga menerangi rumah saya. Kami pun tak lagi mengandalkan lampu teplok minyak tanah sebagai penerang rumah.

Saya lupa tahun berapa, suatu sore Ayah pulang dari pasar membawa pesawat televisi hitam putih 14 inchi. Memang sudah mulai banyak warga yang memiliki pesawat televisi. Saya bersorak kegirangan karena tak perlu lagi repot-repot pergi ke rumah tetangga untuk nonton televisi.

Meskipun hanya televisi bekas, namun pesawat televisi itu menjadi benda berharga di rumah kami. Tak heran jika tidak dinyalakan, televisi pun ditutup dengan taplak meja biar awet dan tidak terkena debu.

Waktu itu untuk menonton siaran televisi tidaklah gratis. Warga yang memiliki televisi ditarik iuran bulanan. Saya lupa jumlahnya. Pembayarannya di kantor pos. Tak hanya televisi, pemilik sepeda pun juga diberi harus membayar pajak alias peneng.

Artikel di Kompas.com pada 18 Januari 2020 tentang sejarah TVRI menuliskan bahwa pemilik televisi dikenai iuran bulanan. Pada tahun 1969 iuran televisi sebesar Rp 200 per bulan yang dibayarkan di kantor pos.

Pada tahun 1974 iuran televisi naik menjadi Rp 500 per bulan untuk pesawat televisi ukuran 16 inchi ke bawah dan Rp 750 per bulan untuk televisi ukuran 16 inchi ke atas.

Waktu berlalu, pada 24 Agustus 1989 stasiun televisi swasta pertama yaitu RCTI mulai mengudara. Perlahan beberapa stasiun televisi swasta mulai hadir melengkapi TVRI. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun