Pukul 23.46. Kusisipkan kecupku di saku kemejamu.
Pertengkaran tadi bermula dari kata tanya "mengapa"
dan "ke mana". Emosi yang membeludak
menyediakan kata selesai. Kita berlanjut dalam
diam. Setelah lebih dari 10 menit, aku pamit pulang.
Dengan mata berkaca-kaca kau mengantarku
ke muka pintu. Aku melirikmu dengan hati
meleleh bagai air mata. Tapi tidak ada kata
selamat malam. Malam meyakinkan kita akan
kebisuannya.
***
Aku tak bermaksud mengeluarkan tanya "mengapa"
dan "ke mana". Aku tahu itu zona terlarang.
Tiap orang punya ruang pribadi yang tak terjamah.
Dan aku salah melangkah. Tapi asal kau tahu.
Kerinduan datang seperti hantu yang menekan.
Membisikkan apa yang kutakutkan. Aku kira
malam ini akan penuh keromantisan. Dua tanya
itu hanya titik pemanasan. Setelah menutup pintu
aku menangis di baliknya.
***
Kemarahan sebenarnya adalah hal asing.
Aku pernah berjanji mencintaimu tanpa marah.
Namun aku ingkar. Dengan emosi
aku memperlihatkan diri sebagai
laki-laki payah. Di jalan pulang
kutulis namamu di tubuh angin malam.
Besok aku akan datang minta maaf.
Aku percaya selalu ada ruang
membangun kembali.
2019