Di era digital, akses informasi terbuka lebar, tetapi ironisnya banyak pejabat publik justru minim membaca buku. Kebiasaan ini bukan sekadar soal selera pribadi, melainkan persoalan serius yang berpengaruh pada kualitas kebijakan dan wibawa kepemimpinan.
Minim literasi membuat keputusan politik sering lahir tanpa pijakan teori maupun pengalaman historis. Ucapan pejabat kerap terdengar liar, tanpa rujukan, bahkan menimbulkan kegaduhan publik. Tak jarang pula mereka gagal memahami tugas pokok dan fungsi sendiri. Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap institusi negara menurun.
UNESCO menegaskan literasi adalah keterampilan sepanjang hayat. Tanpa kemampuan membaca dan mengolah informasi secara mendalam, pejabat ibarat nakhoda berlayar tanpa peta. Sebaliknya, pejabat yang rajin membaca memiliki ciri berbeda: kebijakan lebih berbasis data, bahasa publik lebih terukur, serta pemahaman sosial yang lebih dalam. Membaca sastra, misalnya, terbukti menumbuhkan empati---hal yang penting bagi pemimpin.
Riset manajemen modern juga menyebut pemimpin yang gemar membaca cenderung berpikir strategis dan komunikatif. Dengan kata lain, membaca bukan sekadar hobi intelektual, melainkan investasi sosial dan politik.
Kitab Suci dan Moralitas Pejabat
Satu hal yang tidak kalah penting: pejabat perlu rajin membaca kitab sucinya masing-masing, sesuai agama yang dianut. Kitab suci bukan hanya pedoman spiritual, tetapi juga sumber pembentukan karakter, etika, dan moralitas.
Hampir semua ajaran agama di Indonesia menekankan pentingnya membaca dan belajar. Al-Qur'an dimulai dengan perintah "Iqra'" (Bacalah) sebagai pintu ilmu. Alkitab menegaskan, "Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan" (Amsal 1:7). Bhagavad Gita mengajarkan bahwa "tiada yang lebih menyucikan selain pengetahuan." Dhammapada menyebut "melalui kebijaksanaan, orang membersihkan pikirannya." Analekta Konghucu mengingatkan, "Belajar dan mengulang apa yang dipelajari, bukankah itu menyenangkan?"
Pesan universal dari semua kitab suci jelas: membaca dan belajar bukan sekadar urusan intelektual, melainkan amanah moral. Seorang pejabat yang tekun menggali nilai luhur agamanya akan lebih berhati-hati dalam ucapan, lebih adil dalam kebijakan, serta lebih berintegritas dalam menjalankan tugas.
Bacaan Wajib untuk Pejabat
Selain kitab suci, pejabat juga perlu memperkaya diri dengan bacaan ilmu pengetahuan. Buku manajemen seperti The Effective Executive (Peter Drucker), analisis kebijakan seperti Policy Paradox (Deborah Stone), hingga karya Amartya Sen Development as Freedom layak masuk daftar. Untuk konteks Indonesia, karya Ki Hadjar Dewantara dan studi sejarah bangsa penting dibaca. Tambahan bacaan sastra akan melatih empati, sedangkan kitab suci akan memperkuat integritas moral.
Penutup