Reshuffle kabinet selalu menjadi peristiwa politik yang menarik perhatian publik. Ia bisa dimaknai sebagai langkah presiden untuk memperkuat barisan, merespons tantangan, atau meredam gejolak politik. Namun, ketika reshuffle dilakukan terlalu cepat dan berulang, publik justru menafsirkan lain: bahwa formasi awal yang dibangun sejak awal pemerintahan tidak dirancang dengan cermat.
Â
Prerogatif Presiden dan Batas Rasionalitas
Dalam tata negara, kewenangan presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri merupakan hak prerogatif. Hak ini bersifat konstitusional dan melekat pada jabatan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun, prerogatif bukan berarti kebebasan absolut. Legitimasi tindakan eksekutif selalu dinilai dari seberapa rasional, transparan, dan konsisten dengan kepentingan publik.
Di sinilah persoalan muncul. Reshuffle yang dilakukan terlalu cepat seakan memberi sinyal bahwa proses pembentukan kabinet pada awal periode tidak didasarkan pada perhitungan matang atas kebutuhan negara, melainkan lebih pada kalkulasi politik jangka pendek.
Â
Perspektif Ilmu Politik dan Administrasi Publik
Dalam kajian politik perbandingan, reshuffle dipahami sebagai strategi balancing coalition atau alat presiden untuk menjaga stabilitas koalisi. Namun, kajian yang sama juga menunjukkan dampak negatif: hilangnya kontinuitas kebijakan (policy discontinuity), terputusnya akumulasi pengalaman teknokratis, dan terganggunya implementasi program strategis.
Dari sisi administrasi publik, pergantian menteri yang terlalu dini mengurangi kapasitas administratif (administrative capacity). Menteri baru membutuhkan waktu adaptasi, membangun jaringan koordinasi, hingga memahami birokrasi. Akibatnya, banyak agenda kebijakan berjalan tersendat atau bahkan berubah arah.
Â
Dampak Sosial: Menurunnya Kepercayaan Publik