Rotasi, mutasi, dan promosi dalam birokrasi seharusnya menjadi sarana pembinaan karier sekaligus penguatan tata kelola pemerintahan. Namun, apa jadinya bila promosi jabatan justru diberikan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bermasalah dan diduga terlibat penyimpangan anggaran?
Kasus di Kabupaten Tasikmalaya baru-baru ini menimbulkan tanda tanya besar. Seorang ASN yang diduga menyalahgunakan anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di salah satu Puskesmas, dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp120 juta, malah dilantik dalam jabatan baru. Ironisnya, hasil audit Inspektorat Kabupaten Tasikmalaya pada Maret 2024 menyebut ASN tersebut tidak kooperatif. Namun semua itu seolah tidak menjadi pertimbangan dalam promosi yang diberikan.
BKPSDM Kontradiktif
Pernyataan Kepala BKPSDM, Iing Farid Khozin, justru memperkeruh keadaan. Beliau menegaskan promosi dan mutasi ASN adalah kewenangan penuh bupati sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Tetapi pada saat yang sama ia menyebut promosi harus berdasar catatan kepegawaian yang jelas dan persoalan di unit kerja semestinya diselesaikan terlebih dahulu.
Pernyataan ini kontradiktif. Di satu sisi seolah melempar tanggung jawab ke bupati, namun di sisi lain mengakui bahwa ada aturan normatif yang jelas. Padahal BKPSDM bukan sekadar penonton. Sebagai bagian dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat), BKPSDM punya tupoksi memberi rekomendasi dan catatan rekam jejak ASN. Bila fungsi ini dilepaskan, maka BKPSDM jatuh pada posisi "stempel formalitas" yang hanya menuruti kehendak politik jabatan.
Minim Koordinasi dengan Inspektorat
Audit Inspektorat yang menilai ASN tersebut tidak kooperatif mestinya menjadi sinyal keras. Sayangnya, catatan itu tidak pernah masuk dalam pertimbangan promosi. Ini memperlihatkan lemahnya koordinasi antara BKPSDM dan Inspektorat, dua lembaga yang mestinya saling melengkapi dalam menjaga integritas birokrasi.
Pembinaan atau Sekadar Formalitas?
Lebih jauh, pernyataan Kepala Dinas Kesehatan, dr. Heru Suharto, yang menyebut ASN sudah menjalani pembinaan dan sebagian dana dikembalikan, juga menimbulkan kerancuan. Faktanya, menurut Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Jejen Jenal, ASN itu baru mengembalikan Rp58 juta pada 19 Agustus 2025, sepekan setelah resmi dilantik.
Lalu pembinaan apa yang dimaksud? Mengapa ada perbedaan versi antara dinas dan DPRD? Jika data resmi berbeda-beda, bagaimana publik bisa percaya pada proses yang dijalankan?
Dimana Proses Hukum?