Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar dari Atraksi Politik Jokowi dan Prabowo

29 Juli 2019   14:35 Diperbarui: 29 Juli 2019   14:37 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden

Rangkaian cerita Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019 hampir mencapai episode akhir, setelah diwarnai beragam atraksi politik yang menarik. Meskipun pasangan calon (paslon) yang berpartisipasi hanya dua dan bahkan merupakan duel ulang antara Jokowi dan Prabowo, masyarakat justru lebih antusias menikmati gelaran pilpres kali ini. Terbukti tingkat partisipasi masyarakat di pilpres 2019 ini mencapai 81 persen, tertinggi sejak tahun 2009.

Beragam atraksi politik tak biasa ditampilkan kedua paslon ini mampu menyedot perhatian masyarakat. Nuansa isu agama yang muncul sejak pilkada DKI Jakarta turut terbawa cukup kencang di pilpres 2019, memberi warna tersendiri bagi perjalanan pesta politik rakyat Indonesia.

Kejutan di Awal

Atraksi politik Jokowi dan Prabowo diawali saat pemilihan calon wakil presiden masing-masing. Jokowi, calon presiden (capres) petahana yang (mungkin...) merasa disudutkan terkait isu agama secara mengejutkan memilih KH Ma'ruf Amin, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais Aam PBNU. 

Prabowo, capres yang didukung imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama melalui Ijtima', seakan tak ingin kalah beratraksi, justru memilih Sandiaga Uno. 

Munculnya Sandiaga menjungkir-balikkan prediksi dan harapan pemilih muslim yang mendukung Prabowo. Tidak hanya mengabaikan rekomendasi Ijtima' untuk memilih ulama, namun sosok yang dipilih juga notabene merupakan kader Partai Gerindra.

Justru Jokowi yang malah memilih tokoh ulama sentral, dan bahkan menuai kritik pedas dari para pendukung Ahok, salah satu basis terkuat pemilih Jokowi. Logika para pemilih dibuat terheran-heran atas atraksi kedua capres ini.

Nama-nama potensial seperti Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, AHY, Ahmad Heryawan, TGB hingga Gatot Nurmantyo, otomatis hilang digulung ombak atraksi Jokowi dan Prabowo.

Secara tersirat kedua capres menujukkan kepercayaan diri tinggi dengan menunjuk cawapres yang anti-mainstream. 

Dalam episode ini, GNPF Ulama yang rekomendasinya diabaikan oleh Prabowo ternyata memilih tetap bertahan. Di lain pihak, Jokowi yang sebelumnya menggaungkan isu nasionalisme dan ekonomi menggandeng ulama dan PBNU.

Yah, publik diingatkan bahwa apapun memang bisa terjadi di dunia politik.

Dampaknya, semakin terasa saat masa kampanye dan adu ide serta program. Kedua paslon terlihat hambar, seolah tidak ada hal baru yang ditawarkan. Selain adu sindiran dan perang komentar, kedua paslon sangat minim ide baru dan substansi pemecahan masalah.

Justru di akar rumput para pendukung lebih ramai, isu-isu yang dibahas sangat membumi. Dengan adanya media sosial, siapapun kini bisa menjadi sosok ahli yang mendiskusikan masalah politik, ideologi, hingga isu-isu luar negeri. 

Masyarakat secara tidak langsung "dipaksa" belajar lebih dalam tentang dunia politik, sosial, hingga ekonomi. Pilpres menjadi momen pembelajaran politik yang manarik diikuti anak muda hingga kakek-nenek.

Di sisi lain, nuansa agama yang terus mengemuka membawa dampak positif maupun negatif. Positifnya, semangat umat muslim untuk sadar politik semakin tinggi, ukhuwah dan solidaritas umat terlihat lebih menggeliat. Meskipun sisi negatif tetap ada karena tidak semua umat muslim mampu melihat secara jernih dan berimbang tentang permasalahan politik.

Atraksi Terakhir

Setelah melalui proses panjang pemungutan suara, pengumuman pemenang pilpres, lalu diikuti dengan sidang gugatan ke Mahkamah Konsitusi, akhirnya saga pilpres hampir mencapai akhir.

Namun menjelang garis finish, kita kembali disuguhi atraksi politik yang menarik. Prabowo, secara mengejutkan menemui Jokowi di tengah laju kereta MRT Jakarta. Gestur keduanya pun sangat akrab, seperti kawan beda komplek rumah yang baru berjumpa setelah sekian lama.

Padahal saat itu, Prabowo justru belum menemui petinggi-petinggi partai pendukungnya maupun GNPF Ulama. Kabarnya hanya sepucuk surat yang diberikan, salah satunya seperti yang dibacakan Amien Rais.

Beberapa pendukung Prabowo langsung naik pitam, GNPF dan Presidium Alumni (PA) 212 bahkan langsung dengan gamblang menyatakan sudah tidak lagi bersama Prabowo.

Atraksi politik Prabowo tidak berhenti disitu, selang dua minggu kemudian, Prabowo kembali mengejutkan publik dengan bertamu ke kediaman Megawati Soekarnoputri di Teuku Umar, Menteng Kedua tokoh nasional yang dulu diisukan tidak akur ini nampak santai sambil bersantap nasi goreng. Olala....

Bagi pendukung garis keras Prabowo, rasanya mungkin tak habis pikir, Jokowi dan Megawati yang dibenci habis-habisan, malah dijumpai dengan santainya. Ada apa sebenarnya?

Sedangkan pendukung garis keras Jokowi juga banyak yang terheran-heran. Sudah menang kok, ngapain ketemu-ketemu Prabowo, ada kepentingan apa?

Di waktu yang hampir bersamaan, atraksi mengejutkan juga terjadi saat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengunjungi Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem dan bertemu Surya Paloh. Setelah pertemuan usai, Surya Paloh mengungkapkan bahwa membuka peluang mendukung Anies di pilpres 2024. Wow !?

Bagi pendukung garis keras Prabowo, momen ini makin membuat linglung, karena notabene Partai Nasdem adalah salah satu partai yang tidak disukai oleh mereka. Masih hangat dalam ingatan, Ridwan Kamil disudutkan habis-habisan saat menerima dukungan dari Nasdem di pilgub Jabar.

Anies sendiri dengan popularitas dan posisinya saat ini sebagai Gubernur DKI Jakarta, adalah salah satu kandidat paling potensial sebagai calon presiden 2024 dan sangat dekat dengan pemilih muslim, terutama yang anti-Ahok. 

Konstelasi politik yang bercabang-cabang itu tentu memberi pelajaran penting, bahwa prinsip transaksional masih berlaku politik di Indonesia saat ini.

Sebuah adagium mengatakan, tidak ada makan siang gratis di politik. Pertemuan Jokowi dengan Prabowo, kunjungan Prabowo ke Megawati, hingga Anies bertamu ke Surya Paloh, tentu tidak sekedar karena "hanya ingin berjumpa".

Sebenci-bencinya pendukung Prabowo pada Jokowi dan pendukungnya, toh ternyata mereka tidak sungkan bertemu dan tertawa-tawa. Begitu juga pendukung Jokowi, sejumawa apapun mereka atas kemenangan, Jokowi saja santai senyum-senyum dan berpelukan dengan Prabowo.

Belum lagi, aksi PAN dan Partai Demokrat yang mulai pelan-pelan ingin "menyeberang" ke koalisi pemerintah. Menjadi ironi jika memang PAN jadi menyeberang, padahal ada Amien Rais, tokoh PAN selalu menggebu-gebu mengkritik pedas Jokowi.

Berkaca dari pilpres 2014, PAN kala itu juga bersama Prabowo menantang Jokowi, namun kalah. Ternyata aksi lobi-lobi politik membawa PAN ke barisan pemerintah, bahkan Zulkifli Hasan, ketua umum PAN mendapat kursi ketua MPR.

Yah, memang begitulah politik, lawan dan kawan beda tipis.

Ada juga Partai Demokrat yang mulai limbung, jebloknya performa perolehan suara di dua pilpres terakhir membuat SBY berpikir keras. Drama di awal pilpres 2019 yang membuat SBY "terpaksa" memilih untuk mendukung Prabowo-Sandiaga membuat Partai Demokrat ada di posisi yang agak sulit.

Partai Demokrat praktis memiliki proyek untuk "menerbangkan" Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Maka dari itu, AHY perlu panggung, mendekati pemerintah adalah jalan rasional yang kini tampaknya coba dilakukan Demokrat. Bukan rahasia lagi, tujuannya tentu agar AHY punya kesempatan memupuk popularitas demi pilpres 2024. Bahkan kabarnya, SBY akan turun gunung langsung untuk melakukan lobi-lobi politik di level elite.

Nasib Oposisi dan Peluang 2024

Ramainya atraksi politik menjelang akhir pilpres menyisakan tanda tanya besar bagi nasib oposisi. Dengan kondisi partai Gerindra, PAN dan Demokrat yang mulai PDKT ke Jokowi, praktis hanya PKS yang masih punya cukup kekuatan dan tetap setia menggaungkan prinsip sebagai oposisi.

Jika bicara keseimbangan demokrasi, idealnya Gerindra, PAN, Demokrat dan PKS solid menjadi oposisi. Jika hanya PKS yang menjadi oposisi, tentu kekuatan politik di Senayan menjadi tidak seimbang, pemerintah memiliki power terlalu besar untuk mengendalikan laju pemerintahan.

Dengan koalisi partai pengusungnya saja, Jokowi sudah memiliki 54,9% kursi legislatif. Mungkin jika PAN atau Demokrat yang pindah haluan ke koalisi, kekuatan parlemen masih relatif seimbang mengingat selalu ada partai koalisi yang terkadang "nakal".

Namun jika Gerindra yang menyeberang ke kubu pemerintah tentu akan sangat berdampak pada dinamika pemerintahan lima tahun ke depan. Oposisi memiliki fungsi yang sangat penting dalam mengkritisi dan mengerem laju pemerintah, berbahaya bukan mengendarai mobil tanpa rem yang handal?

Jika oposisi tidak cukup punya power, bukan tidak mungkin koalisi pemerintahan terlalu leluasa bergerak dan cenderung lepas kendali. Jokowi bisa jadi seperti SBY periode kedua yang banyak menteri dan kader utama partainya terciduk KPK justru di akhir masa jabatan. 

Dampaknya serius, PDIP bisa bernasib sama dengan Demokrat, hegemoni kekuasaan dan kekuatan partai rontok perlahan-lahan.

Transaksi koalisi dan oposisi tentu akan berdampak juga pada peluang di pilpres dan pileg 2024. Nama-nama potensial seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, dan Khofifah Indah Parawansa sudah memiliki panggung serta modal popularitas. Tapi tidak bisa dilupakan juga nama-nama besar seperti Sandiaga Uno, Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, AHY, TGB, dan Gatot Nurmantyo, yang jika mendapat panggung ideal dapat menjadi penantang serius di 2024.

Dengan adanya Gerindra yang mulai mesra dengan PDIP, Anies yang "say hello" dengan Nasdem, Ridwan Kamil yang steady dengan PPP dan PKB di Jabar, peta politik lima tahun ke depan akan menarik untuk disimak.

Jangan lupa juga, sepertinya masih akan ada atraksi menarik lainnya yang akan terjadi menjelang pelantikan presiden dan pembentukan kabinet. Kita nikmati saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun